Ada puluhan ribu buku diterbitkan setiap tahunnya. Baik oleh penerbit mayor maupun buku-buku yang diterbitkan oleh lembaga, komunitas, dan penerbit dengan label Indie. Lalu, pertanyaannya kemudian adalah apakah buku-buku itu bisa diakses oleh semua orang? Ada banyak persoalan di sini, kita tidak hanya berbicara soal harga buku, kondisi geografis yang mempengaruhi pendistribusian, atau perihal minat baca masyarakat. Barangkali itu gejala jamak yang kerap muncul di permukaan. Mari kita menggeser sedikit perhatian pada mereka yang selama ini luput dari sorotan.
Umumnya buku-buku yang tersebar di khalayak adalah buku dalam format cetak tinta. Sementara tidak semua orang bisa mengakses dan membaca buku jenis ini. Orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan tentulah akan kesulitan. Bayangkan saja, untuk mengakses sebuah bacaan ada serangkaian upaya yang mesti ditempuh.
Buku yang dibeli atau dipinjam kemudian dipindai. Halaman-halaman yang dipindah itu berubah menjadi gambar, file gambar terlebih dahulu diubah ke format teks menggunakan aplikasi tambahan. . . Setelah itu, dilakukan penyuntingan ketat karena biasanya teks tidak beraturan. Misalnya, huruf ‘d’ akan berubah menjadi huruf c dan l. Tahap selanjutnya adalah tata letak agar susunan kalimat dan paragrafnya sesuai. Perlu dicatat bahwa tidak semua difabel netral dapat melakukan alih wahana secara mandiri seperti itu. Hambatannya akan lebih berlapis bila kondisinya berbeda.
Saat ini telah tersedia buku digital dalam beragam format. Baik berupa e-book atau format lain yang bisa diakses melalui gawai. Hanya saja, tak semua format digital dapat diakses oleh pembaca layar. Persoalan ini kerap muncul disebabkan penyedia buku digital tidak memperhatikan aksesibilitas. Mereka berpikir bahwa format digital itu sudah pasti bisa diakses tanpa melalui uji aksesibilitas.
Lebih lanjut jika kita berbicara mengenai penerbit di Indonesia. Dari sekian ribu penerbit yang ada, belum banyak yang menyediakan buku dalam format digital.
Kenyataan ini semakin menambah hambatan bagi difabel untuk memperoleh bacaan. Kalaupun ada yang menyediakan, terdapat kendala lainnya. Aplikasi pembaca layar akan sulit mengakses tabel, diagram, gambar, dan sejenisnya. Hal ini membuat difabel netra sulit memahami bacaan secara utuh.
Ini satu dari sekian cerita yang kemudian mendorong kami menggagas sebuah penerbitan yang lebih aksesibel dan ramah bagi semua orang. 14 Februari 2020 menjadi titik berangkat menuju mimpi akan dunia yang inklusif. Siasat demi siasat dirumuskan dalam memperkaya aksi dan amunisi. Kami menggarap ceruk yang selama ini diabaikan oleh banyak penerbit. Mengupayakan aksesibilitas untuk setiap buku yang kami terbitkan.
Lalu, apa yang kami lakukan? Tentu saja, dalam memastikan buku-buku yang nyaman dibaca baik oleh difabel maupun non-difabel, serangkaian cara dilakukan. Untuk naskah yang di dalamnya terdapat gambar, tabel dan sejenisnya akan dibuatkan deskripsi sebagai narasi untuk menerangkan isi dari gambar atau tabel tersebut. Deskripsi ini diletakkan di bawah gambar atau tabel. Bisa juga dibuat dalam bentuk catatan kaki atau berupa lampiran disematkan pada halaman belakang. Tergantung kebutuhan yang didasarkan pada estetika tata letak dan tentu saja telah melalui uji aksesibilitas. Jadi, setiap buku akan diterbitkan dalam format cetak dan format digital.
Kenapa kami tak menyediakan buku dalam format Braille saja untuk mengakomodasi kebutuhan bacaan bagi difabel netra. Satu halaman buku ukuran A5 ketika dikonversi ke Braille, sekurang-kurangnya akan menjadi empat halaman berukuran A4. Artinya buku yang isinya 100 halaman akan 4 kali lebih tebal ketika diubah menjadi buku braille. Selain itu, biaya cetak Braille lebih mahal dibanding buku konvensional. Juga mesin Braille di Indonesia jumlahnya sangatlah terbatas.
Upaya kami tidak berhenti di situ. Tak sekadar menerbitkan buku dengan format, yang aksesibel, namun ikhtiar lainnya senantiasa kami gaungkan. Kampanye mengajak para penulis dan editor agar tak menggunakan diksi yang diskriminatif. Terkadang untuk memperindah kalimat, penulis sering kali memakai bahasa, asosiasi, serta perumpamaan yang secara sengaja maupun tidak disengaja mendeskriminasi difabel. Contohnya seperti ungkapan “Para wakil rakyat buta dan tuli atas aspirasi warga.”
Kita baru berbicara satu ragam difabel. Setiap ragam akan berbeda tingkat kebutuhan dan akomodasinya. Misalnya, teman Tuli memiliki budaya literasi yang unik. Struktur bahasa yang dipahami orang kebanyakan berupa S-P-O-K, mereka memahaminya secara berbeda yaitu S-O-P. Dari sini kita bisa menyimpulkan betapa beragamnya kebutuhan teman-teman difabel. Berbeda lagi cara mengkonsumsi bacaan bagi ragam difabel psikososial dan intelektual.
Untuk itu, Penerbit PerDIK dalam terbitan terbitan awal sengaja mengeluarkan buku-buku bertema disabilitas. Alternatif untuk mengarusutamakan isu inklusi. Masyarakat yang memiliki perspektif dan berpengetahuan mestinya bisa mengakselerasi terwujudnya mimpi-mimpi kami. Agar kelak saat menjadi penulis atau pelaku usaha di bidang penerbitan, mereka bisa berperilaku adil dan tidak diskriminatif.
Tentu saja yang kami lakukan belum lah cukup menjawab semua persoalan yang ada. Namun, kerja-kerja kecil seperti ini semoga bisa mengurai simpul kusut dari kerumitan yang kita hadapi setiap hari. Dukungan berbagai pihak dan kolaborasi apik akan menjadi mesin penggerak utama. Dan kami akan terus menyiram harapan untuk membangun literasi yang berkeadilan.[]
*Tulisan ini termuat dalam buku berjudul “Terbit di Makassar: Catatan dari Meja, Penerbit”
>Oleh:
Daeng Maliq – Kepala Suku Pustakabilitas & Penerbit PerDIK