Suara-suara dalam Pekat Gulita

Suara-suara dalam Pekat Gulita
Aku mengingat panggung-panggung terakhir sebelum dunia menggelap. Di penghujung Oktober 2015, saat mendarat segera kutanyakan pada kawan yang menjemput di bandara perihal riuh skena di Makassar. Suasana yang teramat kurindukan setelah berpetualang di utara pulau Borneo. Sepekan kemudian, aku duduk di belakang vokalis Next Delay menuju venue. Roda motor membelah padat jalanan kota. Deru mesin berpadu gumam lirih para pengendara mencipta orkestra kekalutan.
Segera setelah tera menempel di punggung tangan, kami berdesakan melewati pintu masuk. Berjalan sebentar lalu brerbelok ke kiri dan kanan hingga tibalah di depan panggung. Posisi panggung cukup tinggi. Aku menduga ini sebuah kesengajaan, selain agar jangkauan lebih luas juga ketika mendongak penonton bisa menikmati megahnya Monumen Mandala. Di atas panggung bergantian penampilan atraktif dari The Experience Brother, Rumah Sakit, dan Bangkutaman dalam gelaran bertajuk Kumpul Di Timur.
Malam itu mestinya aku berdiam di rumah. Dokter menginstruksikan agar banyak istirahat sebelum operasi dilakukan. Tapi, aku memilih berada di tengah crowd. Ekstase dalam hingar bingar kerumunan jamaah penikmat musik berselera. Suara dan distorsi masih jelas terdengar, namun aksi panggung serta kelip lampu begitu samar. Rasanya serupa berada di dalam mobil di tengah malam diterpa hujan deras. Cahaya lampu mobil di luar sana menyerupai pendar kunang-kunang. Berkelebat tak beraturan.
Di awal tahun 2016, setelah dua bulan lebih pasca operasi, aku memberanikan diri keluar rumah. Penglihatanku memang tak kembali, tapi setidaknya sudut pandang kini lebih luas dari yang sebelumnya hanya sekitar dua puluh persen. Saat itu semua yang kulihat bentuknya aneh tak seperti kenyataannya. Jalan-jalan berbentuk kerucut, ponsel serupa trapesium, dan wajah orang menjelma alien. Urban Gigs yang dihelat di kawasan Pasar Segar itu menghadirkan White Shoes and The Couple Company dengan Kapal Udara sebagai penampil pendahulu. Ingin sekali turut jingkrak di depan panggung, namun silikon di mataku takut copot.
Physical Record Fest di akhir April menjadi gigs pamungkas yang kusaksikan dalam keadaan mata nyalang. Sekaligus menjadi momen mengharukan tatkala Melismatis memproklamirkan bubarnya grup post-rock andalanku. Sekeping album teranyar besutan Dead of Destiny kala itu jadi pelipur lara. Aku meninggalkan pelataran Musick Bus dengan perasaan campur aduk.
***
Paruh 2016 penglihatan sirna sepenuhnya. Aku memilih menepi dari dunia ramai. Nyaris tiga tahun menyendiri melakoni meditasi sembari berkontemplasi. Lalu pada Maret 2019 aku menghadiri pernikahan Radit, seorang kawan yang kujuluki Dave Grohl-nya Makassar. Di pesta itu pula aku bertemu Juang dan Nirwan. Keduanya bercerita hendak mengusung isu disabilitas pada hajatan musik yang saban tahun mereka gelar. Aku cukup antusias menyimak rencana menggiurkan itu. Sudah lama tak merasakan hawa gerah tubir panggung pertunjukan.
Bertahun-tahun obrolan di gedung pernikahan itu menguap. Tak ada obrolan lanjutan. Tak saling berkabar. Hingga angin sejuk sepoi menghampiri di terik siang yang garang. Sebuah undangan digital mengabarkan perihal Prolog Fest 2022. Rasa bahagia itu bukan hanya lantaran ajakan menonton secara gratis, namun karena undangan itu bermaksud melibatkan difabel dalam agendanya.
Kabar terkait gelaran itu pun tersiar ke kawan-kawan difabel. Hingga akhirnya tiga orang memastikan keikutsertaannya, seorang low vision dengan jarak pandang satu meter beserta dua orang totally blind. Ditambah tiga orang kawan awas selaku pendamping.
Hari-hari menjelang pertunjukan, aku sibuk memberi kursus singkat cara menonton konser. Mulai dari outfit yang yang nyaman untuk moshing hingga posisi berdiri yang kokoh agar tak terjatuh saat ada dorongan dari penonton di sekitar. Perihal panduan ini sebenarnya aku berharap pihak penyelenggara bisa menyiapkan waktu sehari untuk itu. Ada semacam, technical meeting bagi calon penonton difabel. Tur keliling venue, selain orientasi lokasi juga sekaligus menguji aksesibilitas tempat acara. Apalagi mereka pertama kali menonton pertunjukan musik.
Hari pagelaran tiba. Kami sampai di kawasan Pantai Akkarena cukup awal. Aku beserta kawan menunggu di depan loket. Nirwan mengirimkan pesan bahwa akan ada panitia yang akan menjemput di pintu masuk. Sekira lima belasan menit si panitia yang dimaksud pun menghampiri kami. Lelaki muda itu membantu mengalunkan ID Card sebagai freepass pertunjukan.
Melewati pintu masuk kami diarahkan untuk berjalan terus. Setelah berpuluh langkah jalan berbelok ke kanan. Suara dari sisi kiri jalan memanggil namaku. Kami berhenti lalu menghampiri sumber suara. Benar saja itu Nirwan. Kami bersalaman sambil menanyakan kabar satu sama lain. Tak lama berselang si Juang mendekat sekadar menyapa lalu pergi lagi dengan bersepeda. Sebagai punggawa hajatan pastilah ia hendak berkeliling memantau setiap tetek-bengek acara.
Tongkat kupanjangkan bersiap menapaki jalan panjang menuju panggung. Aku menghitung langkah di dalam hati. Hitunganku buyar di langkah tiga ratus sekian tatkala dentuman drum disusul distorsi gitar dari arah depan. Panitia di kananku menginformasikan kalau salah satu band sedang melakukan check sound di Prolog Stage yang kemudian kuketahui sebagai panggung utama. Sekian puluh langkah lagi kami tiba di sisi kiri panggung. Berhenti sejenak menyimak bebunyian dari arah panggung sembari mengatur napas. Hawa pesisir di sore hari memaksa bulir-bulir keringat berdesakan melewati pori-pori. Aku iseng bertanya ke panitia yang sedari tadi setia di sampingku perihal tanda-tanda khusus yang bisa dipahami penonton difabel serupa papan petunjuk atau informasi denah dilengkapi sarana pendukung seperti lokasi toilet dan lainnya. Tapi, sepertinya Ia orang yang irit bicara. Mungkin Ia menggeleng menjawab pertanyaanku.
Tak lama kemudian panitia itu berpamitan. Untungnya kami membawa pendamping jadi tak khawatir hilang arah di tengah semesta suara yang memekakkan telinga hingga ketukan tongkat tak terdengar sama sekali. Kami lalu melakukan orientasi memastikan beberapa titik penting.
Penampil perdana yang kutonton adalah Sanctuary Moon. Band asal Kota Daeng yang personelnya pernah kuakrabi di masa lalu. Aku head banging sembari mengacungkan tongkat berharap mendapat perhatian Suwandi, sang vokalis. Namun, sepertinya ia fokus memantau setlist sambil sesekali melirik penonton hawa di depannya. Setelah berganti tiga penampil, aku bertolak meninggalkan Pemancar Stage menuju panggung utama.
Band demi band telah menuntaskan penampilannya hingga sampailah pada dua grup pamungkas malam perdana, Melancholic Bitch dan Efek Rumah Kaca. Pidato singkat front liner menyatakan kalau itu panggung terakhir di bumi bagi Melbi. Beberapa lagu dinyanyikan untuk kemudian digantung sebagai simbol. Selepas lagu terakhir aku meminta seorang kawan menemani ke backstage.
Ketika menuju ke belakang panggung, aku nyaris celaka. Sebelah kakiku terperosot ke parit sedalam lutut. Rasanya begitu sakit ditambah rasa malu kalau-kalau ada orang yang melihat kejadian itu. Aku mengumpat tak karuan. Kawanku meminta maaf karena tak memperhatikan jalur. Ia menggerutu kenapa tak ada rambu petunjuk.
Karena memakai ID Card-nya Nirwan, penjaga akhirnya meloloskan kami masuk menemui Melbi. Aku berbincang sebentar dengan dua personel Melbi. Ugoran Prasad memberikan sebuah kaos putih bertuliskan ‘Majelis Lidah Berduri’ yang merupakan identitas baru mereka. Ugo berkata kalau aku orang kedua setelah Kholil ERK yang mendapatkan baju MLB sebelum band itu launching keesokan harinya pada 11 November 2022.
Ditambahkannya pula bahwa aku orang pertama yang memakai kaos Majelis Lidah Berduri. Selembar kaos cukup mengobati memar di kaki.
Tak semua penampilan aku tonton. Beberapa nama yang baru kudengar dan tentu saja nomor lama untuk bernostalgia. Satu yang paling dinanti adalah reuni Melismatis setelah memutuskan bubar 2016 silam. Juga sempat mengintip satu panggung kecil dari keempat tempat yang disiapkan. Bagi difabel sepertiku butuh perjuangan untuk sampai di Eco Park Stage. Akses jalan yang turun naik ditambah jembatan kecil cukup menyulitkan. Aku membayangkan betapa susahnya pengguna kursi roda bila hendak menonton di panggung tersebut.
Namun, hal lain yang patut diapresiasi pada gelaran yang berlangsung selama empat hari itu yakni dihadirkannya Juru Bahasa Isyarat. Bisa dibilang bahwa Prolog Fest merupakan pertunjukan musik pertama yang mengakomodasi penonton difabel. Hadirnya JBI di atas panggung untuk menerjemahkan lirik lagu bagi teman Tuli menjadi poin tersendiri. Hanya saja, panitia sudah mesti mengumpulkan semua lirik dari setlist seluruh penampil agar JBI bisa melakukan adaptasi untuk kepentingan penerjemahan. Juga ketersediaan close caption di layar sisi panggung untuk menerangkan kejadian atau obrolan personel di atas panggung.
Selain suguhan band serta solois beragam genre, kami juga menjadi peserta Music Conference. Beberapa topik seputar ekosistem musik menjadi pembahasan hangat. Di ruangan konferensi turut hadir kawan-kawan pegiat skena kreatif dari berbagai daerah di kawasan timur Indonesia. Kehadiran kami bersama teman Tuli setidaknya membawa nuansa serta perspektif baru bagi peserta yang lain. Kami berharap inisiatif baik yang dilakukan Prolog dapat direplikasi ke dalam setiap gelaran, di banyak tempat dalam berbagai aktifitas kreatif. Agar semua orang bisa menikmati melodi yang inklusif tanpa diskriminasi.
* Tulisan ini telah terbit dalam buku berjudul “Sedikit Ke Timur”
Oleh:
Daeng Maliq – Kepala Suku Pustakabilitas PerDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *