Menggali Makna Inklusi di Balik Gong Perdamaian Dunia di Ambon

Menggali Makna Inklusi di Balik Gong Perdamaian Dunia di Ambon
Syarif mengenakan kaos hitam lengan pendek bertuliskan Difabel Bisa Tonji berpose di samping Gong Perdamaian Ambon
Syarif mengenakan kaos hitam lengan pendek bertuliskan “Difabel Bisa Tonji” berwarna merah, bercelana panjang hitam, dan sepatu sneaker abu-abu berpose dengan mengangkat tangan kiri di samping Gong Perdamaian Ambon

Gong Perdamaian Dunia yang terletak di Ambon adalah salah satu monumen yang memiliki nilai simbolik tinggi. Dengan diameter sekitar dua meter, gong ini bukan hanya sekadar benda fisik, tetapi sebuah perwujudan dari pesan perdamaian global yang melintasi batas-batas negara, suku, dan agama. Di permukaan gong ini, terukir gambar-gambar bendera dari berbagai negara di seluruh dunia, mencerminkan keberagaman dan persatuan yang menjadi pesan utama dari kehadirannya. Tidak hanya itu, bagian tengah gong juga menampilkan berbagai lambang agama-agama besar, yang semakin menegaskan pentingnya toleransi antarumat beragama dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia.

Gong ini terletak di ketinggian yang strategis, memberikan pandangan yang luas dan indah. Namun, untuk mencapai puncak di mana gong itu berada, pengunjung harus menaiki beberapa anak tangga. Pada hari pertama saya di Ambon, saat berjalan-jalan di sekitar hotel bersama Ihzan, seorang teman perjalanan saya, kami tanpa sengaja menemukan lokasi gong ini. Dengan rasa penasaran, kami segera mendekat dan melihat dari dekat. Di samping kiri gong, terdapat sebuah papan penunjuk bertuliskan “Jalan Akses Disabilitas”. Papan ini langsung menarik perhatian saya, karena sebagai seorang low vision—yakni orang dengan gangguan penglihatan namun masih bisa melihat dalam batas tertentu—aksesibilitas merupakan isu penting yang sering kali saya hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Karena penasaran, saya memutuskan untuk mencoba jalan akses tersebut. Sebagai seseorang yang masih muda, dengan kondisi low vision, serta kegemaran saya untuk berjalan kaki, saya masih bisa melalui jalan akses ini dengan cukup baik, terutama pada siang hari ketika pencahayaan memadai. Namun, bagi mereka yang memiliki ragam disabilitas fisik yang lebih berat, seperti pengguna kursi roda atau alat bantu lainnya, akses ini mungkin tidak seaman yang diharapkan. Saya segera menyadari bahwa kemiringan dari ramp (bidang miring) yang disediakan untuk aksesibilitas ternyata terlalu curam. Hal ini menimbulkan potensi bahaya, terutama bagi mereka yang menggunakan kursi roda, atau bahkan tongkat.

Jalan menanjak/ ramp bertuliskan "jalan akses disabilitas menuju gong"
Jalan menanjak/ ramp menuju gong bertuliskan “jalan akses disabilitas”

Saat mencoba jalan akses ini, saya sempat membayangkan tantangan yang akan dihadapi oleh teman-teman difabel fisik lainnya. Kemiringan ramp yang curam bukanlah masalah kecil. Di berbagai tempat yang sudah menerapkan desain aksesibilitas universal, ramp seharusnya memiliki kemiringan yang lebih landai agar bisa dengan aman digunakan oleh semua kalangan, khususnya mereka yang difabel. Tanpa adanya penyesuaian yang sesuai standar, alih-alih memberikan akses yang inklusif, justru akses tersebut bisa berbalik menjadi penghalang bagi difabel.

Keadaan ini sangat disayangkan, mengingat Gong Perdamaian Dunia seharusnya bisa menjadi simbol yang sangat kuat dalam menyuarakan inklusivitas. Gong ini bukan hanya sekadar objek wisata yang menarik perhatian pengunjung dari dalam maupun luar negeri, tetapi juga sebuah monumen yang menyuarakan pesan perdamaian dan kesetaraan. Pesan ini, seharusnya, bisa dirasakan dan diakses oleh semua orang, tanpa terkecuali. Sayangnya, dengan kondisi aksesibilitas yang kurang ideal ini, makna dari kesetaraan tersebut bisa sedikit tereduksi.

Inklusi dalam konteks aksesibilitas fisik sebenarnya adalah salah satu aspek penting dari perdamaian. Perdamaian tidak hanya berarti tidak adanya konflik atau peperangan, tetapi juga terkait dengan kesetaraan hak dan kesempatan bagi semua individu untuk merasakan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Aksesibilitas bagi difabel adalah bagian dari hak asasi manusia, di mana setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses ruang publik, fasilitas umum, dan berbagai bentuk interaksi sosial.

Kondisi Gong Perdamaian Dunia di Ambon ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana inklusi dan aksesibilitas sering kali masih diabaikan dalam pembangunan fasilitas umum di Indonesia. Meskipun telah ada regulasi terkait pembangunan yang ramah difabel, pelaksanaannya sering kali masih jauh dari ideal. Banyak fasilitas umum yang hanya menyediakan akses secara formal tanpa benar-benar memperhatikan kenyamanan dan keamanan pengguna difabel. Padahal, pembangunan yang inklusif seharusnya memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang kondisi fisik, bisa mendapatkan akses yang sama dan setara.

Jika kita berbicara tentang perdamaian, maka kita harus berbicara tentang penerimaan dan pengakuan terhadap semua individu, termasuk mereka yang difabel. Difabel sering kali menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk dalam hal akses terhadap fasilitas umum. Oleh karena itu, memastikan aksesibilitas yang baik di monumen seperti Gong Perdamaian Dunia ini adalah langkah kecil namun penting dalam menunjukkan bahwa kita benar-benar menghargai semua orang, tanpa memandang keterbatasan fisik.

Dalam perjalanan saya mengunjungi Gong Perdamaian Dunia ini, saya berharap bahwa suatu saat nanti, pihak berwenang di Ambon dapat memperbaiki fasilitas aksesibilitas tersebut. Tidak hanya memperbaiki kemiringan ram, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin perlu ditingkatkan, seperti penanda braille untuk pengunjung tunanetra, atau bahkan bantuan suara untuk mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, Gong Perdamaian Dunia akan benar-benar menjadi simbol perdamaian yang inklusif, di mana semua orang dapat merasakan kedamaian dan kebersamaan tanpa adanya hambatan fisik yang menghalangi.

Selain itu, penting juga untuk menyadari bahwa masalah aksesibilitas ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat luas juga perlu lebih peduli dan peka terhadap kebutuhan difabel. Edukasi tentang pentingnya aksesibilitas harus terus disebarkan, agar kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Gong Perdamaian Dunia bisa menjadi contoh nyata bagaimana sebuah tempat wisata dan monumen perdamaian bisa sekaligus menjadi simbol inklusi jika dikelola dengan baik dan memperhatikan kebutuhan semua lapisan masyarakat.

Dengan demikian, makna perdamaian yang ingin disampaikan melalui Gong Perdamaian Dunia ini akan semakin mendalam. Perdamaian bukan hanya sebuah konsep global yang abstrak, tetapi juga merupakan sesuatu yang bisa kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan-tindakan kecil yang inklusif dan adil. Semoga suatu hari nanti, Gong Perdamaian Dunia di Ambon dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang difabel, sehingga pesan perdamaian dan kesetaraan yang diusungnya benar-benar bisa dirasakan oleh setiap pengunjung tanpa terkecuali.[*]

Sumber foto: foto pribadi penulis

Nur Syarif Ramadhan – Ketua PerDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *