
Setiap tanggal 15 Oktober, dunia merayakan Hari Tongkat Putih Sedunia—sebuah momen yang seolah menjadi sepi di antara keramaian isu global lainnya. Namun, dalam keheningan ini tersimpan sebuah simbol yang kuat, yaitu tongkat putih. Tongkat ini bukan sekadar alat bantu bagi difabel netra, melainkan juga menjadi penanda sebuah perjuangan yang mungkin sering terabaikan: perjuangan untuk diakui, untuk dilihat, dan untuk didengar di dalam dunia yang kerap kali tak terlihat oleh mata.
Dalam bentuknya yang sederhana, tongkat putih telah menjadi alat revolusioner bagi para difabel netra. Ia bukan hanya membantu mobilitas, tetapi juga menciptakan ruang bagi difabel untuk mandiri, menjelajahi dunia dengan cara mereka sendiri. Di balik peringatan ini, terdapat pesan besar yang perlu kita pahami: bahwa kemandirian bukanlah sebuah konsep yang dapat didefinisikan oleh orang lain. Bagi mereka yang memegang tongkat putih, dunia bukanlah dunia yang gelap atau terbatas. Justru, dunia tersebut adalah ruang yang mereka bentuk dan pahami melalui indra yang sering kali kita lupakan.
Namun, peringatan Hari Tongkat Putih Sedunia 2024 seharusnya tidak hanya menjadi refleksi bagi para difabel netra, melainkan bagi kita semua. Ada kesadaran yang perlu ditingkatkan tentang bagaimana kita sebagai masyarakat melihat dan memperlakukan mereka yang memiliki kebutuhan berbeda. Ironisnya, meski tongkat putih membantu seseorang “melihat” dunia, sebagian besar dari kita masih abai terhadap kebutuhan mereka yang memegangnya.
Saat kita berbicara tentang inklusi sosial, sering kali kita melupakan bahwa inklusi tidak cukup hanya berupa akses fisik. Pembangunan fasilitas yang ramah difabel, meski penting, hanyalah lapisan permukaan dari masalah yang lebih dalam. Inklusi yang sejati menuntut pemahaman yang lebih dari sekadar memenuhi standar fisik; ia membutuhkan perubahan paradigma sosial.
Misalnya, bagaimana kita memandang orang-orang yang menggunakan tongkat putih? Apakah mereka dianggap mandiri, kuat, dan mampu? Atau masih ada rasa iba dan simpati berlebihan yang justru mengurangi kemampuan mereka untuk diperlakukan setara? Masih banyak narasi dalam media massa dan literatur yang menggambarkan difabel sebagai kelompok yang “terpinggirkan” dan “tak berdaya.” Hal ini menunjukkan bahwa kita, sebagai masyarakat, masih memiliki jalan panjang dalam memahami apa arti inklusi yang sebenarnya.
Hari Tongkat Putih Sedunia 2024 harus menjadi momentum untuk menantang narasi ini. Kita perlu menggeser persepsi dari tongkat putih sebagai alat bantu yang menunjukkan keterbatasan, menjadi simbol kekuatan yang menandai kemandirian dan kemampuan navigasi dalam dunia yang penuh dengan tantangan.
Di tengah hiruk-pikuk peringatan ini, kita tak bisa menutup mata terhadap realitas sosial dan politik yang melingkupi kehidupan kita saat ini. Di Indonesia, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, perhatian masyarakat dan media sepenuhnya tersedot ke dalam pusaran kampanye, debat kandidat, dan janji-janji politik. Isu-isu yang bersifat fundamental, seperti hak-hak difabel, sering kali terpinggirkan oleh narasi besar politik elektoral.
Ironisnya, pada saat-saat seperti ini, di mana perhatian terhadap difabel harusnya lebih besar, kita justru melihat sebaliknya. Peringatan Tongkat Putih sering kali dilupakan, tenggelam dalam arus kampanye, janji politik, dan perdebatan elektoral. Apakah ini refleksi dari masyarakat kita yang masih belum siap untuk benar-benar menjadi inklusif? Atau apakah ini sekadar cerminan bagaimana hak-hak kelompok rentan terus diabaikan di tengah kegaduhan politik?
Di Makassar, hiruk-pikuk politik menjelang Pilkada benar-benar menguasai ruang publik, dari baliho besar yang dipasang di setiap sudut jalan hingga obrolan di warung kopi yang tak lepas dari topik siapa yang paling layak menjadi pemimpin baru.
Dalam konteks Pilkada, perhatian warga Makassar, sebagaimana di banyak kota lainnya, seakan terserap sepenuhnya ke dalam kampanye politik. Para calon kepala daerah berlomba-lomba menjanjikan perubahan, solusi instan untuk masalah-masalah yang dihadapi warga, dan narasi-narasi besar tentang kemajuan kota. Namun, di balik semua janji itu, ada satu kelompok yang sering kali dilupakan—difabel, termasuk mereka yang memegang tongkat putih.
Kesibukan warga dalam mendiskusikan politik sering kali mengabaikan peringatan penting seperti Hari Tongkat Putih. Tidak ada demonstrasi besar-besaran atau perhatian media yang luas untuk isu-isu difabel. Dalam suasana yang serba sibuk ini, tantangan yang dihadapi oleh difabel netra di kota seperti Makassar semakin terpinggirkan. Padahal, kehidupan urban modern dengan segala dinamikanya sering kali lebih menyulitkan bagi mereka yang harus menavigasi kota dengan tongkat putih.
Justru pada saat-saat inilah seharusnya isu-isu inklusifitas dan aksesibilitas menjadi bagian penting dari diskusi politik. Namun, yang kita saksikan adalah sebaliknya. Peringatan Hari Tongkat Putih Sedunia 2024 tenggelam dalam keramaian Pilkada, sementara para kandidat lebih fokus pada janji-janji pembangunan fisik, infrastruktur, dan ekonomi tanpa menyinggung secara mendalam bagaimana kota ini bisa menjadi lebih ramah bagi difabel.
Di Makassar, isu inklusi dan aksesibilitas sering kali disinggung secara dangkal dalam kampanye politik. Beberapa kandidat mungkin dengan cepat mengangkat program “ramah difabel” dalam platform mereka, namun bagaimana dengan rencana konkret untuk memberdayakan para difabel netra? Apa yang akan mereka lakukan untuk memastikan bahwa mereka yang memegang tongkat putih tidak hanya dapat bergerak dengan bebas di kota, tetapi juga merasa diterima dan dihargai dalam masyarakat?
Makassar sebagai kota besar penuh tantangan bagi difabel netra, mulai dari trotoar yang rusak hingga transportasi umum yang sering tidak ramah terhadap mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Bahkan, meski ada upaya pembangunan fasilitas yang lebih aksesibel, seperti jalur pemandu untuk difabel netra di beberapa tempat, kenyataannya masih banyak yang perlu diperbaiki. Difabel sering kali merasa bahwa janji inklusi yang diucapkan oleh para politisi hanyalah sebatas retorika tanpa tindak lanjut yang konkret.
Bagi warga yang memegang tongkat putih, janji-janji politik ini menjadi semacam “pemandu” yang tak selalu dapat diandalkan. Tongkat putih mereka mungkin membawa mereka melintasi jalanan kota, tetapi politik yang abai justru sering kali membuat mereka terhenti di sudut-sudut ketidakpedulian. Sebuah pertanyaan kritis harus diajukan kepada para calon kepala daerah: Di mana letak komitmen nyata mereka terhadap warga yang hidup dalam kondisi berbeda ini?
Pada akhirnya, peringatan Hari Tongkat Putih Sedunia 2024 harus menjadi lebih dari sekadar formalitas tahunan. Ini harus menjadi seruan bagi para pemimpin kota, calon kepala daerah, dan masyarakat luas untuk benar-benar melihat kehadiran difabel di tengah-tengah mereka. Tongkat putih, yang mungkin tampak sepele di mata sebagian orang, adalah simbol perjuangan, keberanian, dan kemandirian di tengah dunia yang sibuk dan kadang kala abai.
Kota ini, dengan segala dinamikanya, memiliki tanggung jawab besar untuk membangun masyarakat yang inklusif, di mana tidak ada satu orang pun yang merasa tertinggal. Hari Tongkat Putih bukan hanya tentang mereka yang memegang tongkat ini; ini adalah pengingat bagi kita semua untuk melihat lebih jauh ke dalam diri kita sendiri—apakah kita telah menciptakan ruang bagi setiap orang, terlepas dari bagaimana mereka menjalani hidup.
Dalam kebisingan Pilkada dan keramaian kota, kita harus ingat bahwa inklusi bukan hanya janji politik, tetapi sebuah praktik nyata yang melibatkan perhatian, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama. Pada Hari Tongkat Putih Sedunia 2024 ini, mari kita renungkan kembali bagaimana kita bisa membuat kota ini lebih bersahabat, tidak hanya bagi yang bisa melihat dunia dengan mata, tetapi juga bagi mereka yang “melihat” dunia dengan tongkat putih.[]
Daeng Maliq
Kepala suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK