
Pada 23-24 Oktober 2024, Hotel Royal Bay di Makassar menjadi lokasi penyelenggaraan konsultasi rakyat dalam rangka mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim yang diinisiasi oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI). Acara ini dihadiri sekitar 30 perwakilan dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, termasuk kelompok petani, nelayan, masyarakat pulau, perempuan pesisir, kaum miskin kota, organisasi disabilitas, masyarakat adat, kaum perempuan, anak muda, dan komunitas lainnya. Konsultasi ini merupakan rangkaian pertemuan yang ke-13 dan telah diadakan di berbagai wilayah Indonesia dan akan terus berlanjut di daerah-daerah lain guna menghimpun aspirasi yang lebih luas dari kelompok terdampak.
Konsultasi rakyat ini menjadi contoh konkret bahwa beginilah seharusnya sebuah undang-undang dirumuskan: melalui konsultasi mendalam dengan rakyat agar benar-benar mencerminkan aspirasi akar rumput. Mungkin proses ini akan membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun itulah harga yang pantas untuk menjaring semua suara dan menggambarkan kondisi nyata masyarakat dalam menghadapi krisis iklim. Ini berbeda dari undang-undang atau peraturan yang sering kali dirumuskan eksekutif dan legislatif dengan cara yang cepat, bahkan dalam waktu sehari tanpa melibatkan suara rakyat secara langsung.
Dalam sesi diskusi, terungkap berbagai isu kritis yang dihadapi. Peserta berbagi pengalaman mengenai dampak perubahan iklim yang semakin terasa, seperti abrasi pesisir, banjir rob, dan perubahan pola cuaca yang mengganggu hasil panen serta kehidupan masyarakat. Perwakilan masyarakat adat menyampaikan keluh kesah mereka terkait konflik agraria dengan perusahaan yang melakukan alih fungsi lahan. Lahan yang mereka tinggali turun-temurun kini terancam akibat konsesi untuk perusahaan besar. Alih fungsi lahan ini, selain menghilangkan hak tanah adat, turut menyumbang pada krisis iklim dengan merusak hutan yang menjadi penyeimbang ekosistem.
Sementara itu, pembangunan di wilayah pesisir juga memicu dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat pesisir. Banyak yang terpaksa kehilangan mata pencaharian akibat rusaknya lingkungan tempat mereka bergantung hidup. Dengan mata pencaharian yang hilang, masyarakat pesisir sering kali harus berganti pekerjaan, merantau, bahkan meninggalkan keluarganya di kampung demi mencari nafkah di tempat lain. Di beberapa wilayah, krisis air bersih menjadi masalah serius akibat pencemaran dan kerusakan ekosistem air. Situasi ini memaksa masyarakat pesisir untuk membeli air bersih, padahal kondisi ekonomi mereka kian terpuruk.
Nelayan di pulau-pulau pun menghadapi ancaman serupa. Mereka mengeluhkan praktik pengerukan pasir laut oleh perusahaan yang merusak habitat ikan dan wilayah tangkapan mereka. Area yang dulu menjadi tempat bersarang ikan kini berubah, mengurangi hasil tangkapan mereka dan membuat banyak dari mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perwakilan buruh di kawasan industri juga menyuarakan kekhawatiran mereka. Banyak dari mereka terancam kehilangan pekerjaan karena pabrik tempat mereka bekerja bergantung pada bahan baku hasil tangkapan nelayan dan hasil pertanian, yang kian sulit diperoleh akibat krisis iklim. Dampak ini merambah hingga ke petani, yang resah dengan ancaman gagal panen akibat cuaca ekstrem dan pola musim yang tak menentu. Jika terus berlanjut, krisis ini akan memperdalam masalah ekonomi di berbagai sektor.
Selain itu, kelompok disabilitas mengalami kerentanan berlapis. Cuaca ekstrem, seperti suhu panas berlebihan dapat memicu kambuhnya kondisi disabilitas tertentu. Dalam situasi bencana, seperti banjir, mobilitas para difabel juga sangat terhambat, membuat mereka kesulitan beraktivitas dan terancam tidak bisa bekerja. Situasi ini memperparah kondisi kemiskinan yang mereka alami, karena kurangnya akses terhadap bantuan dan ketidakmampuan untuk mencari nafkah.
Pada hari kedua, konferensi pers diadakan dengan menghadirkan delapan narasumber yang mewakili berbagai kelompok masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil. Setiap narasumber berbicara mengenai pentingnya RUU Keadilan Iklim dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Saya sendiri hadir sebagai perwakilan organisasi disabilitas, menyuarakan kebutuhan untuk memastikan kebijakan penanganan dampak iklim juga inklusif bagi para difabel, terutama dalam aspek mitigasi bencana dan penanganan krisis ekonomi.
Hasil dari konsultasi rakyat ini akan dirumuskan menjadi rekomendasi untuk dimasukkan ke dalam naskah akademik yang akan mendasari usulan RUU Keadilan Iklim. Dengan harapan besar, konsultasi ini menjadi langkah awal dalam mewujudkan kebijakan yang berkeadilan, mampu melindungi hak-hak kelompok rentan, serta menciptakan perlindungan bagi masyarakat dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam.[]

Daeng Maliq
Kepala suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK