
Pahlawan sering kali dipahami sebagai sosok yang melakukan tindakan luar biasa, menentang arus demi kepentingan yang lebih besar. Dalam sejarah, kita mengenal para pejuang kemerdekaan, tokoh revolusi, atau mereka yang mengorbankan diri untuk kebaikan bersama. Namun, ketika kita bicara tentang inklusi, pahlawan bukan hanya mereka yang namanya tercatat di buku sejarah. Pahlawan ada di antara kita, bahkan seringkali tidak tampak mencolok. Mereka adalah sosok-sosok yang meruntuhkan batasan, memecah stigma, dan menciptakan ruang yang setara bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang sosial.
Apa yang membuat seseorang menjadi pahlawan? Bukan hanya aksi heroik besar, tetapi juga tindakan-tindakan kecil sehari-hari yang secara perlahan mengubah persepsi masyarakat. Misalnya, seorang guru yang meluangkan waktu untuk mengadaptasi bahan ajar agar dapat diakses oleh siswa difabel. Atau mungkin seorang teman yang dengan sabar belajar bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi dengan teman Tuli di kelasnya. Mereka bukan tokoh besar, tetapi mereka adalah pahlawan karena memperjuangkan hak dan kesetaraan dalam bentuk yang paling nyata dan paling personal.
Di sisi lain, gagasan pahlawan juga sering kali terjebak dalam bias. Pahlawan digambarkan sebagai seseorang yang “menyelamatkan” mereka yang termarjinalkan atau “memberi” kesempatan bagi kelompok difabel. Narasi seperti ini mengandung unsur superioritas yang halus, seolah-olah mereka yang termarginalkan selalu berada di posisi yang perlu “dibantu”. Padahal, inklusi yang sesungguhnya tidak melulu tentang pemberian dari yang kuat kepada yang lemah, tetapi tentang bagaimana kita membongkar sistem yang menciptakan ketidaksetaraan itu sejak awal.
Sebagai contoh, gerakan inklusi di ruang publik adalah manifestasi nyata dari ‘pahlawan-pahlawan’ ini. Mereka tidak meminta belas kasihan; mereka menuntut hak yang setara. Mereka mengajarkan kita bahwa inklusi adalah tentang partisipasi aktif, bukan semata soal aksesibilitas fisik tetapi juga soal penerimaan sosial yang sejajar.
Maka, pahlawan di sini adalah mereka yang terlibat langsung dalam mengubah cara kita memandang keberagaman, baik dengan kata-kata, tindakan, maupun kebijakan. Pahlawan bisa saja adalah seorang difabel yang memperjuangkan haknya untuk aksesibilitas, seorang aktivis yang mengadvokasi perubahan kebijakan, atau bahkan seseorang yang mempraktikkan inklusi dalam kesehariannya, seperti menyediakan ruang bagi teman-teman difabel untuk hadir dan berkontribusi.
Maka, kita semua memiliki potensi untuk menjadi pahlawan. Kita mungkin tidak pernah melawan penjajah atau melakukan revolusi besar, tetapi kita dapat memulai dari lingkungan terdekat, dengan menghargai setiap orang dan memastikan bahwa ruang yang kita ciptakan adalah ruang yang nyaman dan setara untuk semua. Kebaikan kecil, tindakan sederhana, dan kesediaan untuk mendengarkan adalah langkah awal menuju dunia yang inklusif. Mungkin inilah definisi pahlawan yang lebih relevan untuk zaman ini: bukan mereka yang terhormat karena kemenangan besar, tetapi mereka yang tanpa pamrih berjuang untuk kebaikan bersama, satu tindakan kecil setiap harinya.
Sebagaimana ungkapan lama, pahlawan adalah mereka yang membentuk dunia di sekelilingnya menjadi tempat yang lebih baik, dan dalam inklusi, mereka adalah orang-orang yang memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal di belakang.-[]
Daeng Maliq
Kepala Suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK