
Gerimis turun pelan-pelan sore itu, seperti tangan lembut yang mengetuk jendela. Awan kelabu menggantung di atas Kota Makassar, membawa suasana sendu yang membuat saya ragu sejenak untuk beranjak. Namun waktu terus berdetak, dan saya tak bisa menunda lebih lama. Segera saya menghubungi panitia diskusi, mengabarkan kalau sedang gerimis. Panitia membalas melalui pesan singkat menyampaikan akan ada yang menjemput. Saya menarik napas panjang dan mengikat tali sepatu, bersiap untuk bertemu dengan jemputan yang akan membawa ke lokasi.
Tak berselang lama, denting gerimis di kanopi perlahan senyap. Suara seseorang dari depan pagar bertanya pelan, hendak memastikan kebenaran orang yang dijemputnya. Saya kemudian memberi tutorial singkat tentang cara memandu orang buta. Setelah cukup paham,saya pun memegang lengannya dan berjalan sekira lima puluhan langkah menuju tempatnya memangkir motor.
Saya naik di belakangnya, dan kami mulai melaju di jalanan yang basah oleh sisa hujan. Motor melaju pelan, berhati-hati menghindari genangan air yang mungkin menyembunyikan lubang-lubang kecil. Di sepanjang perjalanan, kami berbincang ringan tentang cuaca, dan bagaimana gerimis sore ini seolah menjadi pertanda tentang suasana diskusi nanti. Suara kami nyaris tenggelam oleh deru kendaraan di sekitar.
Setibanya di lokasi, saya turun dari motor, mengucapkan terima kasih pada mahasiswa baru yang membawa saya dengan selamat. Hujan sudah mereda, tapi awan kelabu tak juga pergi.
Waktu berlalu, jarum jam terus bergerak. Forum yang dijadwalkan dimulai pukul 19.00 kini sudah molor hampir satu jam. Seorang perempuan menghampiri dengan sedikit kikuk. “Kami masih menunggu konfirmasi dari para pasangan calon,” bisiknya. “Belum ada yang hadir, dan beberapa masih dalam perjalanan.” Saya hanya mengangguk pelan, mencoba bersabar. Seharusnya forum ini berakhir pukul 21.00, tapi melihat keadaan yang tertunda, saya tak bisa membayangkan kapan diskusi akan dimulai.
Sambil menunggu, saya menghabiskan waktu dengan berbincang dengan beberapa teman lama yang tak sengaja saya temui di sana, serta berkenalan dengan beberapa orang baru yang hadir. Percakapan mengalir ringan, mulai dari nostalgia tentang diskusi serupa di masa lalu hingga obrolan tentang situasi politik terkini. Gelak tawa kecil dan senyum kecut menghiasi percakapan kami, seperti sebuah cara untuk mengisi waktu dan mengusir rasa jenuh yang perlahan merambat. Di balik percakapan itu, ada rasa yang sama: harapan bahwa malam ini, setidaknya, akan ada gagasan yang mampu membuat kami merasa tidak datang hanya untuk menunggu ketidakpastian.
Ruangan mulai dipenuhi gumaman kecil dari peserta yang saling bertanya-tanya—apakah mereka hanya akan duduk menunggu janji yang tak kunjung tiba? Di benak saya, ini adalah cerminan dari apa yang sering terjadi di kota ini: kita terus menunggu pemimpin yang datang membawa harapan, tetapi sering kali yang tiba hanya keterlambatan, ketidakhadiran, dan janji-janji yang tak jelas bentuknya.
Akhirnya, karena waktu yang semakin larut dan ketidakpastian yang melingkupi kehadiran para pasangan calon, panitia memutuskan untuk memulai kegiatan tanpa kehadiran satu pun dari mereka. Acara dibuka dengan pemaparan hasil survei isu perkotaan prioritas di Kota Makassar. Layar di depan mulai menampilkan data dan grafik; angka-angka yang menggambarkan harapan, kekecewaan, dan kebingungan warga terhadap kota ini. Suasana ruangan yang semula dipenuhi obrolan perlahan berubah lebih khusyuk saat hasil survei dipresentasikan. Ada kekosongan yang terasa—bukan hanya karena absennya para kandidat, tapi juga karena suara warga yang terwakili dalam angka-angka itu seolah menggantung di udara, menunggu respons yang mungkin tak akan datang malam ini.
Setelah pemaparan berakhir, satu per satu penanggap didaulat maju dan duduk di depan, bersiap memberikan tanggapan atas hasil survei tersebut. Diskusi dimulai dengan pandangan dari penanggap pertama yang menyoroti tentang Makassar yang mendapat predikat kota bahagia di dunia. Di mana, tidak sepatutnya kita berbangga karena urutan sebenarnya berada di 200 lebih dari 500 kota. Juga kebahagiaan tersebut belum tentu disebabkan oleh pemimpin atau pemerintahnya. Penanggap kedua melanjutkan dengan membawa perspektif berbeda, membahas isu kearifan lokal dalam setiap program pembangunan, serta bagaimana pembangunan kota sering kali melupakan ruang terbuka publik sebagai elemen penting dalam tata bangun kota.
Tepat ketika dua penanggap tersebut selesai memberikan pandangannya, akhirnya dua perwakilan dari pasangan calon nomor 3 dan nomor 4 tiba di lokasi, nyaris bersamaan. Mereka dipersilakan maju ke depan untuk menyampaikan gagasan mereka tentang isu-isu yang telah diangkat dalam survei. Semua mata kini tertuju pada mereka, menanti jawaban, visi, dan rencana konkret yang akan mereka tawarkan. Namun, dalam hati saya bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar siap memberikan lebih dari sekadar retorika politik yang mengisi ruang hampa?
Malam itu, saya duduk di antara akademisi dan pengamat isu perkotaan. Saya hadir sebagai penanggap, siap dengan sejumlah gagasan, dan harapan bertemu para calon pemimpin masa depan yang memiliki visi segar.
Satu per satu perwakilan pasangan calon menyampaikan visi dan misi yang sudah dihafal, seolah-olah mereka sedang memutar ulang kaset lama. Isu-isu klise tentang infrastruktur, pelayanan publik, dan janji-janji tanpa bentuk yang hanya manis didengar. Yang menggelikan, ketika saya mendengar mereka berbicara, saya merasa seperti menyaksikan seniman tanpa kuas, pelukis yang berdiri di depan kanvas kosong tanpa warna dan bentuk yang ingin mereka ukir. Kota Makassar, bagi mereka, hanya rangkaian jalan yang perlu diaspal, bukan ruang hidup yang menuntut keberanian untuk dibayangkan ulang.
Ketika tiba giliran saya memberi tanggapan, saya menghadap ke arah mereka—dua perwakilan yang tampak ragu dengan apa yang mereka wakili. Dalam hati saya ingin bertanya, “Apakah kalian benar-benar ingin memimpin kota ini, atau hanya mengincar panggung kemenangan?” Saya sampaikan kritik saya secara lugas. Kita ini sedang membicarakan kota yang memiliki sejarah panjang, kota yang pernah menjadi pusat perdagangan di Nusantara, yang pernah menjadi kota yang membanggakan. Tapi apa yang saya dengar di sini hanya kata-kata klise, janji yang kosong, tanpa daya imajinasi. Apa yang membuat saya percaya kalian bisa memimpin Makassar menuju masa depan yang lebih baik kalau kalian bahkan tidak bisa membayangkannya?
Membaca buku, bukan sekadar aktivitas yang membosankan atau pengisi waktu luang. Buku-buku itu membuka jendela dunia, memperlihatkan apa yang mungkin dilakukan untuk kota ini. Bukan sekadar membangun gedung-gedung tinggi atau memperbaiki jalan yang bolong. Kota kita butuh pemimpin yang bisa berkhayal, berimajinasi, menciptakan kota yang bisa membuat warganya merasa bangga, membuat anak-anak bermain dengan bebas, pejalan kaki merasa aman, dan difabel bisa bergerak tanpa kendala.
Saya menyampaikan hal-hal yang bagi saya adalah pondasi dasar dari sebuah kota yang hidup: ruang-ruang publik yang manusiawi, sistem transportasi yang terintegrasi dan ramah lingkungan, serta ruang hijau yang bukan hanya taman kecil di pinggir jalan. Saya bicara tentang kota yang tidak hanya berdenyut karena lalu lintas kendaraan, tapi karena detak jantung warganya yang merasa memiliki, merasa dicintai, merasa diakomodasi.
Selesai saya berbicara, penanggap keempat memberikan pandangannya terkait transportasi yang menjadi urat nadi pembangunan. Salah satu perwakilan mencoba menjawab dengan pidato yang terkesan lebih defensif. Ia berkata bahwa janji-janji konkret membutuhkan data dan analisis, bukan sekadar imajinasi yang melambung tinggi. Bahkan, si kandidat berusaha menggiring nada-nada kritis dan harapan para penanggap sebagai noise belaka, bukan voice bermakna yang dapat memberikan gagasan membangun. Saya tersenyum kecil mendengar itu. Benar, tapi tanpa imajinasi, semua data hanya akan menjadi angka mati. Analisis hanya akan jadi tumpukan kertas tanpa arah.”
Diskusi malam itu bagi saya lebih dari sekadar pertemuan biasa. Itu adalah potret bagaimana imajinasi kolektif kita tentang kota sudah lama dikorbankan di altar pragmatisme yang kering. Kota tanpa mimpi adalah kota yang perlahan akan mati. Saya pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Di kepala saya, Makassar tampak seperti kanvas kosong yang menanti dilukis. Tapi para senimannya hilang arah, terpaku pada garis-garis lama yang sudah usang.
Jika para calon pemimpin ini tidak segera membuka mata, membuka buku, dan membuka hati mereka, Makassar akan terjebak dalam lingkaran pembangunan tanpa jiwa. Kota ini layak mendapatkan lebih. Dan saya, sebagai seorang warga, hanya bisa berharap, mengkritik, dan terus menyuarakan mimpi—sekaligus mengingatkan bahwa imajinasi adalah langkah pertama untuk merancang masa depan yang lebih baik.[]

*Sebuah catatan dialog isu perkotaan prioritas yang diinisiasi KOTATA
Daeng Maliq
Kepala suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK