
Hujan deras sejak pagi di Denpasar membuatku memutuskan untuk berangkat lebih awal ke bandara. Jadwal penerbanganku memang masih malam, tapi dalam kondisi seperti ini, lalu lintas bisa saja menjadi kacau. Lebih baik menunggu di bandara daripada terjebak macet di jalan.
Sudah lima hari aku berada di Denpasar, mengikuti lokakarya penulisan jurnal internasional dan artikel ilmiah. Kegiatan ini adalah bagian dari proyek penelitian kolaborasi antara beberapa lembaga dari Australia dan Indonesia, yang didukung oleh program KONEKSI. Program ini adalah salah satu wujud kerja sama Australia dan Indonesia dalam bidang pengetahuan, inovasi, dan teknologi.
Di sela-sela lokakarya, aku sempat memiliki waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Denpasar dan Seminyak. Meski terasa menyenangkan, aku justru menyadari bahwa kota ini belum banyak berubah, terutama soal aksesibilitas untuk pejalan kaki. Trotoar di banyak titik masih sangat buruk, berlubang, sempit, bahkan kadang digunakan untuk parkir kendaraan. Bayangkan saja, bagi mereka yang difabel, berjalan di sini bisa menjadi sebuah tantangan besar. Aku berisiko tersandung jika tidak ada yang menemani. Ironis, mengingat Bali adalah destinasi wisata internasional, tetapi fasilitas pejalan kaki dan aksesibilitasnya masih belum menjadi prioritas.
Antara Seminyak dan Denpasar
Ada perbedaan yang cukup jelas antara Seminyak dan Denpasar dalam hal kenyamanan bagi pejalan kaki. Seminyak, sebagai kawasan wisata populer, setidaknya lebih ramah. Jalan-jalan seperti Kayu Aya dan Jalan Raya Seminyak memiliki trotoar yang lumayan meski tidak sempurna. Akses ke restoran, butik, dan pantai juga terasa lebih mudah, memberikan pengalaman yang cukup menyenangkan untuk wisatawan. Namun tetap saja, trotoarnya sering sempit, rusak, atau mendadak beralih fungsi menjadi tempat parkir. Belum lagi lalu lintasnya yang padat dan minim penyeberangan aman.
Denpasar, di sisi lain, jauh lebih sulit untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Sebagai pusat aktivitas masyarakat lokal, Denpasar lebih didominasi oleh kendaraan bermotor. Trotoar di beberapa area seperti sekitar Lapangan Puputan memang cukup baik, tapi tidak semua tempat mendapat perhatian serupa. Trotoar yang rusak, sempit, atau bahkan tidak ada membuat pejalan kaki harus ekstra hati-hati. Rasanya seperti memaksakan diri untuk bisa “nyempil” di antara kendaraan yang melaju kencang.
Aku membayangkan, jika aku berjalan sendirian, ini tentu menjadi pengalaman yang sangat sulit, bahkan berbahaya. Sayang sekali, Bali yang dikenal dunia sebagai destinasi wisata unggulan ternyata belum menyediakan fasilitas yang benar-benar inklusif.
Candi Bentar yang Tidak Ramah untuk Semua
Sekarang, sambil menunggu waktu boarding di Bandara I Gusti Ngurah Rai, aku sempat mendekati Candi Bentar yang berdiri megah di area bandara. Gerbang tradisional khas Bali ini memang memancarkan nuansa budaya lokal yang kuat. Dua struktur simetris yang terpisah menciptakan celah di tengahnya, seperti menyambut siapa pun yang datang. Desain ini bukan hanya indah, tapi juga sarat makna: melambangkan keterbukaan, peralihan, dan keseimbangan dalam hidup.
Seorang teman asli Bali pernah bercerita bahwa Candi Bentar juga dipercaya memiliki fungsi spiritual, sebagai penolak bala yang menjaga area di baliknya dari pengaruh negatif. Filosofi yang begitu mendalam ini membuat keberadaannya semakin istimewa.
Namun sayangnya, ketika aku mencoba naik ke atasnya, aku menyadari satu hal yang membuatku kecewa. Tidak ada bidang miring atau akses lain selain tangga. Ini artinya, tidak semua orang bisa menikmati keindahan gerbang tersebut. Lagi-lagi, aksesibilitas luput dari perhatian. Sebuah ironi di tengah keindahan arsitektur yang seharusnya bisa dinikmati semua orang, tanpa terkecuali.
Pikiran ini terus membayangiku saat aku menunggu di ruang boarding. Aku bertanya-tanya, kapan kiranya destinasi sekelas Bali benar-benar siap menyambut semua orang dengan setara, tak peduli apa pun kondisinya?[*]

Bandara I Gusti Ngurah Rai, 09 Desember 2024
Nur Syarif Ramadhan
Ketua Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK)