Warning! Tulisan ini bisa menjadi trigger bagi penyintas kekerasan seksual.
Resilire (n.) adalah kata dalam Bahasa Latin yang berarti melenting atau kembali ke posisi semula setelah mendapat tekanan.
___
Beberapa bulan lalu saya mengalami kekerasan seksual yang sangat mengubah hidup saya. Kekerasan seksual yang bertransformasi menjadi trauma monster dan menggerogoti setiap aspek kehidupan saya. Kekerasan seksual yang turut menggandeng hadirnya kekerasan ekonomi sehingga untuk pertama kalinya saya mengutuk takdir sebagai perempuan dan berteriak pada Tuhan, “Tuhan, menjadi perempuan adalah dosa!”.
Ya, menjadi perempuan adalah dosa. Sejak kecil, saya diberitahu bahwa penghuni neraka didominasi oleh perempuan. Saya diberitahu bahwa laki-laki diuji melalui 3 hal; harta, tahta, wanita (read: perempuan). Ketika kekerasan seksual terjadi, bukan laki-laki yang ditanya mengapa, bagaimana, memakai baju apa, melainkan pertanyaan-pertanyaan itu dibebankan pada perempuan. Bukan hal baru bagi perempuan untuk disalahkan dan dianggap sebagai penyebab kekerasan seksual terjadi.
Sebagai perempuan, kekerasan seksual dengan spektrum ringan telah saya alami berulang kali di banyak tempat; rumah, sekolah, angkutan umum, jalan raya, serta kampus. Berangkat dari pengalaman tersebut, saya mulai mencari tahu dan belajar mengenai kekerasan berbasis gender. Kampus adalah tempat pertama dimana saya belajar mendengarkan, memahami dan bertukar cerita mengenai pengalaman hidup sebagai perempuan dalam belenggu patriarki. Kemudian saya mencoba mengambil langkah berani untuk menjadi pendamping korban kekerasan seksual. Dalam proses pendampingan kasus kekerasan seksual, saya menemui korban yang sangat emosional dan keputusan mereka berubah-ubah. Misal, hari ini mereka membulatkan tekad untuk berbicara dan melapor, di hari berikutnya mereka mundur dan tidak ingin melanjutkan penyelesaian kasus, di hari lain mereka berkompromi dengan pelaku, kemudian kekerasan seksual kembali terulang. Sebagai pendamping saya berusaha mendengarkan untuk memahami mereka, meskipun di beberapa momen saya mempertanyakan mengapa mereka seperti itu? Mengapa mereka plin-plan? Mengapa, mengapa dan mengapa? Berbagai pertanyaan “mengapa” yang muncul dalam kepala saya, terjawab dengan satu jawaban pasti bahwa kekerasan seksual adalah isu sistemik dimana implementasi payung hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga korban dipaksa mengambil pilihan untuk mengubur kasus tersebut.
Tetapi saya menulis ini bukan untuk membicarakan implementasi payung hukum di Indonesia maupun berbagai hal teoritis mengenai kekerasan berbasis gender. Saya ingin berbagi cerita bagaimana pengalaman saya menjadi penyintas kekerasan seksual, bukan dalam spektrum ringan, melainkan kekerasan seksual dalam bentuk percobaan pemerkosaan yang menghadirkan berbagai bentuk kekerasan lain terhadap diri saya.
Beberapa bulan lalu, saya bekerja di salah satu perusahaan multinasional yang kerap mencitrakan diri sebagai perusahaan yang ramah terhadap perempuan dan anak. Kemudian saya mengalami kekerasan seksual oleh rekan kerja. Dengan keyakinan bahwa kantor akan mendukung dan melindungi korban kekerasan seksual, saya pun memberanikan diri melaporkan hal itu kepada pihak manajemen. Awalnya mereka merespon dengan baik, meminta saya mengirim surel secara resmi dan berjanji akan menindaklanjuti kasus tersebut, tetapi citra perusahaan hanyalah omong kosong belaka. Tindak lanjut kasus hanya sekadar janji dari mulut manis mereka. Pada akhirnya tidak ada konsekuensi untuk pelaku, hanya teguran lisan, tidak ada dokumen SP atau semacamnya yang diteruskan kepada saya. Saya malah diminta untuk bekerja secara profesional dengan pelaku dan menganggap kasus ini hanyalah masalah personal antara saya dan pelaku.
Saya dengan sikap naif mencoba mendorong penyelesaian kasus tersebut. Saya mencoba menjelaskan bagaimana cara menangani kasus kekerasan seksual dan mencoba mendorong adanya SOP kekerasan seksual di kantor yang berarti hal itu menjadi beban ganda bagi saya sebagai korban kekerasan seksual. Respon yang saya dapat malah ancaman halus untuk tidak melibatkan nama perusahaan apabila saya mengambil keputusan membawa kasus ini ke jalur hukum. Ibaratnya “sudah jatuh, tertimpa tangga”. Sudah mengalami peristiwa traumatis, kemudian harus mengadvokasi kasus sendiri.
Saya akhirnya memahami perasaan plin-plan, kesulitan mengambil keputusan dan segala macam pergulatan batin para penyintas yang pernah saya dampingi. Di satu sisi saya terlalu arogan untuk mengakui bahwa saya menjadi korban kekerasan seksual, saya malah menempatkan diri saya sebagai pendamping. Berbagai dinamika saya hadapi selama proses tersebut, sampai pada akhirnya saya mengalami gejala gangguan mental kemudian dipecat. Kekerasan seksual yang saya alami menghadirkan kekerasan verbal serta kekerasan ekonomi yang berujung membuat saya menjadi disabilitas psikososial atau yang orang awam sebut sebagai “odgj”.
Kondisi sebagai penyintas kekerasan seksual sekaligus disabilitas psikososial membuat saya semakin rentan, tetapi saya tahu di titik ini saya harus memiliki daya lenting. Bagi saya melenting bukan berarti melupakan kasus dan melanjutkan hidup dengan trauma berkepanjangan. Saya mengartikan melenting adalah bagaimana saya bisa bertahan dan melawan. Mungkin saya tidak bisa mengubah sistem perusahaan tersebut sebab itulah cerminan kecil dari kondisi di Indonesia. Respon perusahaan itu adalah dampak dari ketidakhadiran negara dalam menyelesaikan impunitas yang ada selama ini.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang kemudian saya dan teman-teman bisa lakukan? jawabannya adalah mari kita berkolektif serta saling mendukung. Pilihan saya saat ini adalah bergabung dengan teman-teman yang mendorong advokasi kebijakan yang lebih inklusif. Prosesnya memang tidak mudah, tapi berkolektif adalah cara bagi saya untuk melenting dan pulih. Saya paham pemulihan bukanlah sesuatu yang linear. Beberapa hal masih menjadi trigger yang dapat membuat saya relapse (kambuh), tetapi saya yakin suatu saat saya akan pulih.[*]
Sartika Wati