Setiap Idul fitri, kita akrab dengan sapaan Minal aidin wal faizin. Kata-kata ini mengalir ringan dari bibir ke bibir, menjadi pengantar peluk hangat dan jabat tangan yang menggugurkan rindu. Ia menyelinap dalam pesan singkat, spanduk di pinggir jalan, bahkan dalam doa-doa yang dilantunkan selepas takbir. Namun, seperti banyak ungkapan lain yang terlanjur jadi tradisi, kita jarang berhenti sejenak untuk merenungi artinya yang sebenarnya.
Minal aidin wal faizin bukan sekadar ucapan lebaran. Ia merupakan potongan doa dalam bahasa Arab Ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin—yang berarti Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan orang-orang yang menang. Kembali ke kesucian setelah Ramadan, dan menang atas hawa nafsu yang mengikat manusia pada egoisme, kerakusan, dan kezaliman.
Maka sejatinya, ucapan ini bukan basa-basi di grup percakapan, melainkan harapan mendalam agar kita semua menjadi manusia yang lebih jernih, rendah hati, dan adil.
Namun, dalam semarak kemenangan ini, mari kita bertanya dengan jujur, apakah kemenangan ini milik semua orang? Apakah semua umat bisa benar-benar kembali dan menang, atau hanya mereka yang secara sosial dan struktural memang dimudahkan aksesnya?
Di banyak ruang ibadah, akses bagi difabel masih terbatas. Tangga tanpa ramp, masjid tanpa pemandu suara, khutbah yang tak bisa diakses oleh teman Tuli, bahkan penyelenggaraan acara keagamaan yang tak mempertimbangkan kebutuhan jamaah difabel. Ini bukan semata soal niat baik, tapi soal sistemik. Kita belum membiasakan diri melihat keragaman tubuh dan cara manusia mengakses ibadah sebagai sesuatu yang setara.
Padahal, Rasulullah SAW adalah manusia yang sangat peka pada kebutuhan setiap umat. Dalam banyak riwayat, beliau memendekkan salat saat tahu ada orang sakit, memprioritaskan yang lemah dalam barisan jihad, dan menjadikan siapa pun yang bertakwa sebagai bagian dari komunitas, tanpa memandang kondisi fisik. Sayangnya, semangat itu perlahan digerus oleh budaya seragam, di mana “kesalehan” hanya diukur dari siapa yang paling mampu hadir, paling fasih membaca, atau paling sering mengikuti pengajian—dengan standar yang hanya menguntungkan mereka yang berada dalam kondisi ideal.
Ironisnya, banyak dari kita yang fasih bicara soal ukhuwah dan kasih sayang, tetapi tanpa sadar melanggengkan eksklusi lewat kelalaian terhadap hak akses yang layak. Dalam konteks ini, pertanyaannya menjadi lebih tajam, bisakah kita benar-benar mengklaim telah ‘kembali pada fitrah’ jika keadilan belum merata?
Ramadan adalah latihan—untuk menahan, untuk menundukkan ego, dan untuk peka pada sesama. Maka Idulfitri adalah ujian, apakah kita bisa melanjutkan semangat kepedulian itu ke dalam kebijakan dan tindakan nyata?
Inklusi bukan sekadar urusan fasilitas. Ia adalah soal cara pandang. Soal bagaimana kita mengubah lensa dari ‘mengasihani’ menjadi ‘mengakui hak.’ Soal bagaimana kita memahami bahwa keberagaman cara manusia beribadah, berjalan, melihat, atau mendengar, adalah bagian dari rahmat kehidupan, bukan hambatan.
Kita perlu membayangkan ulang ruang ibadah, bukan hanya soal menambah ramp atau memperbesar ruang wudu, tapi membentuk atmosfer yang betul-betul menyambut siapa pun yang datang—dengan segala keberbedaan dan keunikannya. Mungkin ini bentuk kemenangan yang lebih sejati, saat semua orang, merasa dilihat, didengar, dan disambut.
Bila benar kita ingin jadi bagian dari al-faizin, maka perjuangan ke depan harus lebih dari sekadar ibadah personal. Ia harus menyentuh tatanan sosial. Ia harus memihak. Harus mengoreksi ruang-ruang yang selama ini hanya disusun untuk mereka yang ‘normal’ menurut kacamata mayoritas. Harus berani menegur kemapanan yang membungkam.
Makna sejati dari minal aidin wal faizin adalah harapan agar kita semua pulang—bukan hanya ke rumah, tapi ke nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Nilai yang melihat semua orang, apa pun kondisinya, sebagai bagian tak terpisahkan dari komunitas. Nilai yang menempatkan keadilan bukan di pinggir khutbah, tapi di pusat tindakan.
Jadi tahun ini, mari kita tafsirkan ulang ucapan itu. Mari jadikan Minal aidin wal faizin bukan sekadar salam lebaran, tapi juga komitmen. Bahwa kemenangan spiritual juga berarti membangun ruang ibadah, komunitas, dan kebijakan yang benar-benar ramah dan terbuka untuk semua. Dan bahwa fitrah sejati adalah ketika kita mampu berdiri bersama, tak hanya di sajadah, tapi juga dalam perjuangan.[]
Daeng Maliq
Kepala Suku Pustakabilitas dan Penerbit