Kolonialisme, Keadilan, dan Siapa Kita Sebenarnya?

Kolonialisme, Keadilan, dan Siapa Kita Sebenarnya?

Saya berjumpa Dr. Solange Mouthaan selama beberapa hari di Melbourne. Kami tinggal di akomodasi yang sama. Selama tiga hari berturut-turut, kami berjalan bersama menuju kampus Monash di Clayton—dan di situlah sebagian besar percakapan kami berlangsung. Tidak selalu serius, kadang ringan, kadang sangat pribadi. Namun dari semua yang kami bicarakan, benang merahnya selalu kembali pada satu hal: siapa sebenarnya kita di tengah sejarah yang tidak selalu kita tulis sendiri?

Solange adalah seorang akademisi hukum internasional dari Warwick University. Ia dikenal karena kritik-kritiknya terhadap ketimpangan dalam sistem hukum global, terutama dari perspektif gender, kolonialisme, dan keadilan lingkungan. Namun dari perjumpaan kami, saya menangkap bahwa ia adalah seorang pencari—seseorang yang dengan jujur mengakui bahwa ia masih bergulat dengan sejarah keluarganya sendiri. Dalam salah satu percakapan, ia bercerita bahwa orang tuanya lahir di Indonesia dan baru kembali ke Belanda belasan tahun setelah Indonesia merdeka.

“Itu membuatku selalu bertanya,” katanya pelan saat kami berjalan menyusuri trotoar di Melbourne, “siapa sebenarnya saya?”

Pernyataan itu terus terngiang. Mungkin karena sebagai orang Indonesia, saya memahami betul betapa rumit dan belum tuntasnya relasi kita dengan sejarah kolonialisme Belanda. Dan ketika pertanyaan itu datang dari seseorang yang orang tuanya pernah hidup di tanah yang sama—namun dari posisi sejarah yang sangat berbeda—pertemuan kami pun berubah menjadi ruang refleksi bersama.

Dalam workshop yang ia fasilitasi, Solange mengangkat tema International Criminal Justice, Climate Change, and Gendered Perspectives. Namun lebih dari itu, ia menekankan satu lapisan penting yang kerap absen dalam diskusi global: sejarah kolonial. Ia memulai dengan pertanyaan provokatif: apakah keadilan lingkungan dapat benar-benar dicapai jika kita terus menggunakan kerangka hukum yang dibentuk oleh negara-negara yang selama berabad-abad justru menjadi pelaku perusakan?

Kami diajak untuk mengurai kembali konsep International Criminal Justice yang selama ini diklaim netral dan objektif. Solange menantang klaim tersebut. Ia menunjukkan bagaimana sistem itu dibangun di atas narasi Eropa yang mengabaikan suara-suara dari Global South, masyarakat adat, perempuan yang hidup di wilayah konflik, dan kelompok-kelompok yang bahkan tidak diberi ruang untuk menyusun hukum bagi diri mereka sendiri. Ia menyoroti bagaimana prosedur hukum yang tampak universal justru dapat melupakan kerusakan yang sifatnya sistemik, berlangsung perlahan namun menghancurkan—seperti perampasan tanah, polusi industri, dan hilangnya ruang hidup komunitas adat yang tidak diakui dalam definisi sempit “kejahatan internasional.” Dengan kata lain, hukum itu sendiri bisa menjadi alat eksklusi, bukan jembatan keadilan.

Saya menyimak dengan seksama ketika ia membahas konsep ecocide—kerusakan lingkungan sistemik yang hingga kini belum diakui sebagai “kejahatan inti” dalam sistem hukum internasional. Namun lebih dari aspek legalnya, yang paling membekas bagi saya adalah pendekatan yang ia tawarkan: bahwa untuk benar-benar memahami krisis iklim, kita perlu menelusuri sejarah kolonialisme, mendengarkan pengalaman mereka yang paling terdampak, dan bertanya ulang—untuk siapa hukum ini dibuat?

Saya tidak bisa tidak mengaitkan banyak dari yang ia sampaikan dengan kerja-kerja advokasi saya di Indonesia. Tentang bagaimana hukum sering datang terlambat untuk difabel. Tentang bagaimana suara dari komunitas-komunitas kecil di luar kota-kota besar sering dianggap terlalu “lokal” untuk dijadikan dasar kebijakan. Tapi justru pada titik inilah pertemuan kami menjadi bermakna: karena kami sama-sama tahu, bahwa pengalaman yang dianggap “terlalu lokal” itulah yang justru membuka tabir ketimpangan global.

Kami mungkin berasal dari dua dunia yang berbeda: saya dari lorong-lorong advokasi akar rumput di Indonesia, dan ia dari koridor akademik di Eropa. Namun percakapan kami membuktikan bahwa lintas dunia tidak selalu berarti berjarak. Dalam interaksi sehari-hari yang tidak formal—saat berjalan kaki ke kampus, menunggu tram, atau duduk sejenak di taman—kami bisa saling memahami tanpa perlu menyederhanakan satu sama lain. Tidak ada tuntutan untuk menjelaskan segalanya, cukup ruang untuk saling mendengarkan dan mengakui kerumitan masing-masing.

Dan mungkin itulah yang paling saya syukuri dari pertemuan ini: ruang di mana saya bisa menjadi diri saya sendiri. Di hadapan seseorang seperti Solange, saya tidak sedang menjelaskan Indonesia kepada orang asing. Saya sedang berbagi cerita dengan seseorang yang juga sedang mencari cara untuk memahami bagian dari dirinya—yang ternyata, terhubung dengan tanah yang sama.[*]

 Syarif berfoto bersama Dr. Solange Mouthaan
Syarif ngobrol dengan Dr. Solange Mouthaan di area kampus.
Syarif, Dr. Solange Mouthaan, dan dua peserta diskusi nampak sedang duduk mendengarkan diskusi
Dr. Solange Mouthaan berfoto bersama peserta workshop

 

Nur Syarif Ramadhan

Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaran/ PERDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *