Jangan Kembali ke Paradigma Medis dalam Definisi Disabilitas

Jangan Kembali ke Paradigma Medis dalam Definisi Disabilitas

Sidang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2025 memantik perdebatan serius khususnya di kalangan pegiat isu disabilitas. Dua penyintas penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, mengajukan uji materi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Mereka meminta agar penyakit kronis dimasukkan secara eksplisit sebagai salah satu ragam disabilitas. Raissa, yang hidup dengan Thoracic Outlet Syndrome selama sepuluh tahun, mengisahkan nyeri berulang di tangan, pundak, dan dada yang membatasi mobilitas dan stamina. Deanda, yang mengidap Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease, menyampaikan kelelahan kronis yang membuat aktivitas sehari-hari sulit dilakukan. Mereka berpendapat, ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi hak dan advokasi kebijakan publik bagi kelompok seperti mereka.

Sebagai difabel, saya memahami keresahan itu. Penyakit kronis memang dapat menyebabkan hambatan fungsional yang nyata. Namun saya khawatir memasukkan penyakit kronis secara otomatis ke dalam definisi disabilitas justru berisiko mengaburkan arah perlindungan yang sudah diperjuangkan gerakan disabilitas selama puluhan tahun.

UU No. 8/2016 lahir sebagai tonggak pergeseran cara pandang negara terhadap disabilitas. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang menegaskan bahwa disabilitas bukan sekadar “kekurangan” individu atau persoalan medis, melainkan akibat interaksi antara keterbatasan fungsi dengan hambatan lingkungan dan kebijakan. Pergeseran ini penting karena membebaskan penyandang disabilitas dari stigma “orang sakit” dan menegaskan mereka sebagai warga negara yang memiliki hak penuh dan setara. Proses lahirnya UU ini sendiri melalui advokasi panjang organisasi disabilitas di Indonesia agar definisi tidak lagi bertumpu pada daftar diagnosis medis.

Dengan paradigma baru tersebut, pengakuan dan pemenuhan hak disabilitas tidak lagi diukur dari diagnosis medis melainkan dari hambatan nyata dalam berpartisipasi di masyarakat. Seorang penyandang disabilitas sensorik netra yang sehat secara medis tetap dianggap penyandang disabilitas karena hambatan aksesnya terhadap pendidikan, fasilitas publik, dan pekerjaan. Sebaliknya, seseorang dengan penyakit yang memerlukan pengobatan jangka panjang tetapi tidak mengalami hambatan fungsional dalam aktivitas sehari-hari tidak serta-merta digolongkan sebagai penyandang disabilitas. Pendekatan ini sejalan dengan standar internasional dan praktik di negara lain.

Amerika Serikat, melalui Americans with Disabilities Act (ADA), memang memberi peluang bagi orang dengan kondisi kesehatan tertentu untuk mengklaim perlindungan hukum jika kondisinya secara substansial membatasi aktivitas utama sehari-hari. Namun status ini tidak otomatis hanya karena diagnosis. Penilaian berbasis dampak fungsional dan bukti pembatasan konkret tetap diperlukan. Inggris pun serupa. Equality Act 2010 mendefinisikan disabilitas sebagai “impairment” yang berdampak signifikan dan jangka panjang pada kemampuan seseorang menjalankan aktivitas normal sehari-hari. sekali lagi fokusnya pada dampak, bukan nama penyakitnya. Di Selandia Baru, New Zealand Disability Strategy juga tidak mendefinisikan disabilitas sebagai daftar diagnosis, melainkan sebagai hasil interaksi antara impairment dengan hambatan lingkungan, dan kebijakan perlindungan berbasis kebutuhan individu.

Pendekatan ini lebih progresif. Negara memberi perlindungan kepada siapa pun yang mengalami pembatasan nyata, tetapi tidak mengubah definisi hukum menjadi daftar penyakit. Kita di Indonesia sudah punya mekanisme serupa. UU Disabilitas sendiri membuka ruang untuk penilaian ragam disabilitas berdasarkan fungsi, bukan diagnosis. Kartu Penyandang Disabilitas, program bantuan sosial, dan layanan publik dapat dirancang lebih inklusif terhadap orang dengan kondisi kronis yang terbukti memiliki keterbatasan jangka panjang. Dengan sistem asesmen fungsional yang tepat, orang dengan kondisi kronis yang memengaruhi kemampuan bekerja, belajar, atau berpartisipasi sosial bisa diakui sebagai penyandang disabilitas tanpa harus mengubah definisi undang-undang menjadi terlalu luas.

Kita juga memiliki contoh praktik baik di sektor lain. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia 2021–2025 mengembangkan modul literasi keuangan untuk penyandang disabilitas. Modul ini tidak membedakan jenis penyakit, tetapi fokus pada kebutuhan aksesibilitas—misalnya format braille, video bahasa isyarat, pelatihan petugas bank agar mampu melayani nasabah difabel. Ada pula program Keuangan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas yang membuka rekening, kredit usaha, dan perlindungan konsumen tanpa syarat diagnosa medis tertentu. Mekanisme berbasis dampak dan kebutuhan ini jauh lebih sesuai dengan semangat UU No. 8/2016 dibanding memperluas definisi hukum.

Memasukkan penyakit kronis secara otomatis sebagai disabilitas berpotensi mengembalikan definisi yang terlalu medis. Kategori yang terlalu luas akan membuat kebijakan dan sumber daya menjadi kabur. Program dan fasilitas yang dirancang khusus untuk menghapus hambatan sosial bagi penyandang disabilitas bisa kewalahan atau bergeser fokusnya menjadi pelayanan kesehatan. Padahal akar masalahnya bukan pada kondisi medisnya, melainkan pada sikap diskriminatif dan lingkungan yang tidak akses. Kita harus berhati-hati agar tidak mengulang kesalahan lama di mana status “disabilitas” ditentukan oleh surat keterangan dokter dan label penyakit, bukan oleh kebutuhan akan akomodasi yang layak.

Ini bukan berarti orang dengan penyakit kronis yang memang mengalami keterbatasan fungsional tidak perlu dilindungi. Justru sebaliknya: mereka berhak mendapatkan perlindungan dan akomodasi yang setara. Tetapi mekanismenya sebaiknya berbasis pada penilaian fungsi dan hambatan, bukan pada daftar penyakit. Pemerintah dan DPR berkewajiban memperkuat sistem asesmen fungsional dan memperluas perlindungan hukum agar orang dengan kondisi kronis yang benar-benar mengalami hambatan tidak terdiskriminasi. Di sisi lain, hukum anti-diskriminasi di tempat kerja dan layanan publik perlu ditegakkan untuk melindungi siapa pun yang mengalami hambatan akibat kondisi kesehatannya, tanpa memandang apakah ia “masuk kategori” secara formal.

Dari perspektif gerakan disabilitas, perjuangan terbesar selama ini adalah menggeser fokus dari “apa penyakitnya” ke “apa hambatannya.” Inilah yang membedakan model hak asasi dengan model medis. Jika sekarang kita kembali menjadikan penyakit sebagai pintu utama definisi, kita berisiko memundurkan capaian itu. Alih-alih memperkuat hak, kita justru mengukuhkan stigma lama bahwa penyandang disabilitas adalah orang sakit yang harus diobati.

Mahkamah Konstitusi tentu memiliki kewenangan menafsirkan undang-undang agar selaras dengan konstitusi dan hak asasi. Namun MK juga perlu berhati-hati agar tidak bertindak sebagai pembuat undang-undang baru. Jalan tengah yang lebih tepat adalah menafsirkan UU Disabilitas secara inklusif berbasis fungsi, bukan menambah daftar penyakit. Pemerintah kemudian berkewajiban memperkuat mekanisme perlindungan yang ada agar orang dengan kondisi kronis yang benar-benar mengalami hambatan tetap mendapat dukungan yang layak tanpa harus mengubah definisi inti “disabilitas” yang telah kita perjuangkan.[*]

 

Nur Syarif Ramadhan merupakan difabel netra, Direktur Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), dan Ketua Eksekutif Nasional Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *