[Dialog Imajiner] Kartini Bersama Perempuan Difabel

[Dialog Imajiner] Kartini Bersama Perempuan Difabel

Tokoh dan Ragam Difabel:

Kartini: Tokoh sentral, bersuara tenang dan tegas. Mengenakan kebaya  berwarna emas pucat dengan kain batik. Duduk tegak dan penuh wibawa. Suaranya tenang, hangat, dan bijaksana. Gerakannya pelan tapi penuh makna, tatapannya tajam menembus waktu.

Nur Aini: Perempuan Netra, berpikir reflektif. Memakai gamis biru muda dan kerudung abu. Duduk bersila dengan tongkat di sisi kanan. Wajahnya tenang. Sering tersenyum pelan sebelum berbicara.

Ayu: Perempuan pengguna kursi roda, tangguh dan vokal. Mengenakan kaos lengan panjang dan celana olahraga, duduk di atas kursi roda. Tangannya kuat, ekspresif saat berbicara. Ia aktif dan penuh semangat. Sesekali mengetukkan jarinya ke pegangan kursi.

Yanti: Perempuan Tuli, menggunakan bahasa isyarat. Mengenakan blouse putih dan celana panjang warna pastel. Matanya penuh ekspresi, geraknya anggun saat menyampaikan isyarat. Ia banyak tertawa.

Eva: Perempuan dengan disabilitas psikososial, sensitif dan puitis. Memakai kardigan rajut dan rok panjang. Duduk bersandar. Suaranya lirih, namun kata-katanya mendalam dan puitis. Ia suka menatap langit sambil berpikir.

Tia: Perempuan dengan disabilitas intelektual, perhatian tulus. Mengenakan dress warna-warni cerah. Duduk bersila sambil memeluk boneka kecil. Bicaranya polos, ceria, dan kadang tak terduga. Wajahnya selalu cerah dengan senyum lebar.

Cica: Perempuan dengan disabilitas ganda, Tuli-Netra, tenang dan puitis. Memakai baju hitam sederhana. Duduk tenang di samping JBI. Ekspresinya halus dan penuh perasaan. Komunikasi lewat sentuhan dan gerakan tangan ke telapak.

JBI: Juru Bahasa Isyarat, menerjemahkan Yanti dan Cica. Memakai kemeja rapi dan celana panjang. Berdiri atau jongkok menyesuaikan arah komunikasi. Geraknya cepat, wajahnya ekspresif.

PROLOG

Pada malam menjelang Hari Kartini. Sekelompok perempuan difabel dari berbagai latar belakang berkumpul untuk berdiskusi tentang kehidupan, perjuangan, dan identitas mereka. Secara mengejutkan, sosok Kartini hadir dan menjadi bagian dari percakapan itu. Dialog berlangsung adalam suasana santai, menggunakan dialek Makassar ringan yang hangat.

Angin laut berembus lembut, membawa suara ombak yang berkejaran di antara bebatuan pemecah gelombang. Lampu-lampu kota memantul di permukaan air. Di tepi pantai, delapan perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan.

Mereka adalah perempuan-perempuan difabel, dari berbagai ragam disabilitas, yang malam ini berbagi cerita dan menyuarakan harapan. Suasana akrab, penuh empati, dan diiringi suara riuh pelan kota Makassar di kejauhan.

Debur ombak malam. Angin pantai Losari. Suara kota sayup.]

[Backsound musik instrumen tradisional Makassar pelan.

NARATOR (tenang, menyentuh):

Pantai Losari malam ini jadi tempat berkumpul yang tak biasa. Bukan pesta. Bukan bazar. Tapi pertemuan hati dan suara.

Perempuan-perempuan difabel dari penjuru Makassar duduk bersama, sebagian di kursi roda, sebagian merapatkan tongkat putihnya, ada pula yang bergandengan tangan dengan pendamping.

Mereka datang bukan untuk sekadar mendengar. Tapi untuk bertanya. Untuk bicara. Untuk menyuarakan diri yang lama dipinggirkan.

Dan di antara tiupan angin dan gemuruh laut, satu sosok muncul. Pakaiannya sederhana, wajahnya bersinar. Ia menatap satu per satu mereka, lalu duduk perlahan.

Langkah tenang, kain kebaya bergesek pelan.

NUR AINI (suara halus, sedikit bergetar):

…Ini… betul Ibu Kartini, kah?

KARTINI (lembut, berwibawa):

Iye’… saya datang karena kalian sudah lama memanggilku. Bukan dengan suara, tapi dengan pertanyaan. Dengan rasa. Dudukki’ semua. Malam ini, kita baku dengar. Baku bicara. Dari hati ke hati.

NUR AINI (lirih, tapi dalam):

Saya mau tanya, Bu Kartini… kenapa saya, kalau mau masuk masjid, harus minta tolong terus… karena tidak ada petunjuk suara. Rasanya kayak bukan rumah ibadah untuk saya…

KARTINI (tenang, tajam):

Astagfirullah… itu karena mereka cuma pikir ibadah soal sujud, bukan soal keadilan. Kau punya hak yang sama, nak. Kalau masjid tidak bisa menerimata’, berarti kota ini butuh disucikan kembali. Bukan kamu yang salah. Tapi sistem yang tak mau melihat.

NUR AINI (suara tenang, dalam):

Masalah lainnya… tiap hari saya lewati trotoar yang tinggi-tinggi, berlubang, dan penuh motor parkir. Kadang bisa jatuhka. Kita netra kan tidak bisa lihat, Bu. Tapi kayaknya kota ini juga tidak mau lihat kita…

KARTINI (dalam, menyentuh):

Nak… kota yang baik itu bukan cuma untuk mata yang terang, tapi juga untuk kaki yang harus aman melangkah. Kalau trotoar ta’ bikin celaka, itu bukan salah tongkatmu, tapi salah kebijakan yang tidak empati. Kau harus terus bicara tentang jalanmu. Karena jalanan juga tempatmu hidup, bukan cuma dilewati orang lain.

AYU (tegas, jengkel):

Saya pernah mau naik bus, Bu… tapi tidak ada tanjakan, sopir juga cuma lihat saja. Rasanya kayak bukan penumpang. Padahal saya juga bayar.

KARTINI (tegas, berwibawa):

Kalau kendaraan umum tak bisa bawa semua warganya, itu bukan kendaraan rakyat. Itu kendaraan sombong. Dan kota yang tidak aksesibel, tandanya belum dewasa. Kau jangan berhenti berusaha naik, nak. Setiap roda kursita’ yang tertahan, itu tamparan untuk kebijakan yang mandek.

AYU (sedikit geram, semangat):

Saya juga jualan di pasar, Bu. Tapi sering diusir. Dibilang ganggu lorong. Padahal saya tidak minta-minta, saya cari makanji. Salahka saya?

KARTINI (tegas, semangat):

Tidak salah. Justru kau sedang memberi contoh. Bahwa perempuan difabel bisa mandiri. Bisa cari rezeki halal. Mereka takut karena melihatmu kuat. Teruskanki’. Kota ini butuh liat contoh sepertimu.

Suara tangan berbahasa isyarat.

JBI (mewakili YANTI, bahasa isyarat):

Saya juga merasakan hal sama seperti Aini. Kami Tuli, tiap kami ke masjid atau gereja, tidak bisa paham ceramah karena tidak ada penerjemah. Saya datang, duduk, tapi saya tidak ikut apa-apa. Rasanya kayak tidak dianggap ada.

KARTINI (pelan tapi tajam):

Nak… ibadah itu bukan cuma dengar ceramah, tapi juga merasa dihargai. Kalau tempat ibadah tidak sediakan juru bahasa isyarat, berarti mereka belum sipakatau—belum memanusiakan semua. Kau tetap datang, tetap duduk. Karena kehadiranta’ itu sudah ceramah paling keras yang bisa mereka lihat.

JBI (mewakili YANTI):

Saya juga pernah ke puskesmas. Mau bilang sakit, tapi mereka tidak tahu bahasa isyarat. Saya akhirnya pulang. Tanpa diperiksa.

KARTINI (lembut, penuh empati):

Ah, nak… suara bukan cuma dari mulut. Tanganmu bicara. Hatimu bicara. Dan mereka yang tidak mau belajar bahasa isyaratmu, merekalah yang bermasalah, karena abai terhadap kemanusiaan.

EVA (melankolis, suara dalam):

Saya sering takut sendiri, Bu. Kadang kepala penuh, rasa sesak. Tapi waktu bilang ke orang, mereka bilang saya “gila”. Saya cuma butuh dipahami…

KARTINI (lirih, lalu tegas):

Kamu bukan gila. Kamu sedang bertahan dalam badai yang tidak kelihatan. Orang yang tidak mengerti rasa seperti itu, mereka buta jiwa. Maka kau harus terus bicara, meski dunia diam. Karena keberanianmu… adalah pengobatan bagi banyak yang belum berani bersuara.

EVA (lirih tapi jelas):

Saya pernah ikut wawancara kerja, tapi waktu mereka tahu saya punya riwayat nental, langsung ditolak. Mereka bilang saya bisa jadi beban. Saya merasa seperti hantu—ada tapi tidak dianggap.

KARTINI (pelan, dalam, menyentuh):

Kau bukan hantu, nak. Kau manusia yang pernah luka, dan itu bukan alasan untuk dibuang. Dunia kerja yang baik itu bukan yang cari orang sempurna, tapi yang paham bahwa semua orang bisa tumbuh. Tugasmu bukan sembunyikan lukata’, tapi paksa dunia untuk lihat betapa kuatnya kau bisa bangkit.

TIA (ceria tapi tulus):

Saya suka bantu ibu jual kue, Bu Kartini. Tapi orang kampung bilang, saya cuma bisa kerja kecil-kecil… itu bikin saya sedih… kenapa orang tidak percaya sama saya?

KARTINI (hangat, menggenggam):

Tia… kerja kecil bukan berarti nilainya kecil. Kau bantu ibumu. Kau belajar hidup. Jangan biar perkataan orang buatmu ragu. Yang penting kau percaya dirimu sendiri. Orang lain akan ikut nanti. Terus, kenapa Tia tidak lanjutkan sekolah?

TIA (suara polos, semangat):

Saya mau sekolah, Bu… Tapi gurunya bilang susah dia ajari saya. Katanya saya beda dari anak lain. Saya jadi malu mau lanjut… padahal saya suka belajar.

KARTINI (hangat, lembut):

Tia… bukan kau yang kurang, tapi sistem pendidikanta’ yang belum siap mencintai dengan cara berbeda. Kau berhak sekolah, nak. Kau punya hak atas guru yang sabar, yang paham cara belajarta’. Kau pintar, cuma perlu diberi ruang. Jangan berhenti belajar. Karena ilmu ta’ itu bekal untuk melawan ketidakadilan.

Suara jari mengetuk huruf Braille, lalu senyap.

JBI (suara puitis, mewakili CICA):

Saya Tuli dan juga Netra. Tapi saya bisa merasa angin. Bisa mencium aroma laut. Saya tidak punya suara, tapi saya ingin didengar…

KARTINI (terharu):

Kau sudah bicara lebih dari cukup, nak. Kau mengingatkan kami… bahwa keterbatasan bukan batas. Justru dari senyapmu, kami belajar mendengar. Dari gelapmu, kami belajar melihat yang lebih dalam.

JBI (menyuarakan CICA, perlahan, puitis):

Waktu saya ke puskesmas, mereka bingung lihat saya. Saya tidak dengar, saya juga tidak bisa lihat jelas. Saya cuma bisa tunjuk-tunjuk. Tapi mereka malah saling pandang, lalu tinggalkan saya begitu saja. Saya pulang… tidak sembuh, tapi tambah sakit…

KARTINI (dengan empati yang dalam):

Nak… kalau rumah sakit tidak bisa layani orang seperti kita’, itu bukan tempat penyembuhan—itu tempat pengabaian. Kau punya hak atas kesehatan, atas bantuan yang manusiawi. Kalau kau dilihat aneh, itu bukan karena kita’ difabel, tapi karena mereka yang tidak punya rasa. Dan kalau kau tetap bertahan, itu artinya kau sedang sembuhkan negeri ini, pelan-pelan.

JBI (menganhgkat tangan dengan malu-malu):

Tabe’, Bu. Mauka bertanya… Jadi, apa sebaiknya yang dilakukan tawwa ini teman-teman?

Kartini (dengan suara lembut tapi tegas):

Bagus itu pertanyaanta’. Menuliski’ semua… Menulis itu bukan cuma kerja tangan, tapi kerja hati. Kalau tidak kita’ tulis kisahta, siapa lagi yang mo’ tahu kita pernah ada, pernah melawan? Menulislah, walau satu kalimat sehari. Karena dari situ, perlawanan bisa lahir. Dari situ, suara difabel bisa terus menggema. Biar sederhana, asal jujur.

NARATOR:

(Meditatif, mendalam)

Malam makin larut. Tapi tak ada yang ingin pulang. Di antara debur ombak dan desir angin, suara mereka telah berubah. Bukan sekadar suara… tapi gema. Gema dari hati yang lama tertahan. Dan di tengah lingkaran itu, Kartini berdiri…

KARTINI (berwibawa, suara pelan tapi kuat):

Anakku sekalian…

Kota yang besar bukan dilihat dari tinggi gedungnya,

tapi dari keberaniannya mendengar suara yang paling pelan.

Dan perempuan difabel… adalah suara yang selama ini disisihkan.

Tapi malam ini, saya dengar kalian.

Dan saya percaya…

Besok-besok, dunia akan ikut dengar juga.

(hening sejenak, suara laut)

Sekarang… saya mau tutup dengan satu bait. Bait yang saya temukan dari laut Losari malam ini…

(dibacakan Kartini, dengan iringan musik kecapi Makassar pelan)

Kami berpijak di tanah basah,

Bukan untuk menjejak dalam lumpur,

Tapi menanam perlawanan.

 

Dunia ini kami peluk dengan harga diri dan empati,

Karena tubuh kami bukan aib,

Tapi alat untuk mencintai kehidupan.

 Kami bukan bayangan, kami cahaya

Biar redup, asal menerangi.

Biar berbeda, asal berdaya.

EPILOG

Kartini tidak tinggal di masa lalu. Ia hidup dalam langkah-langkah para perempuan difabel yang tidak lagi menunggu dikasihani, tapi memilih berdiri. Dengan atau tanpa tongkat, dengan atau tanpa suara, mereka kini bergerak. Membangun sejarah mereka sendiri.

Dan malam itu, Pantai Losari menjadi saksi.

Saksi bahwa… difabel bukan bayangan. Perempuan difabel adalah cahaya.

Musik naik perlahan, suara ombak menghilang, fade out.

Ilustrasi Ibu Kartini duduk melingkar berdiskusi bersama tujuh perempuan difabel dengan ragam disabilitas di pinggir pantai. 

Daeng Maliq

Kepala Suku Pustakabilitas dan Penerbit PERDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *