Stigma, sebuah kata yang mungkin sudah akrab di telinga banyak orang, terutama ketika membahas isu-isu disabilitas. Stigma ini sering kali dilekatkan pada individu difabel, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas difabel. Namun, apakah sebenarnya makna dari stigma ini? Bagaimana Ia bekerja dan berdampak pada kehidupan difabel? Saya ingin berbagi pengalaman pribadi sebagai seorang low vision untuk menjawab pertanyaan ini.
Sejak usia tiga bulan, saya didiagnosis menderita katarak yang menyebabkan ancaman kebutaan. Kabar ini menjadi pukulan berat bagi keluarga saya. Kesedihan dan kekhawatiran melanda, terutama bagi ibu saya yang merasa bersalah karena terlambat memeriksakan mata saya akibat keterbatasan finansial. Ketakutan akan masa depan yang suram tanpa pekerjaan yang layak membayangi pikiran keluarga, seolah-olah kebutaan hanya akan membawa saya pada profesi sebagai tukang pijat.
Apa yang dialami oleh ibu saya adalah bentuk dari bekerjanya stigma dalam masyarakat kita. Ketika kebutaan diasosiasikan secara sempit hanya dengan profesi tertentu, ini menunjukkan bahwa stigma sudah terinternalisasi dalam pikiran banyak orang. Stigma ini berkembang melalui proses panjang interaksi sosial, di mana seorang anak yang buta kemudian dicap sebagai “tidak mampu” hanya karena ia tidak dapat membaca atau melakukan aktivitas lain seperti anak-anak pada umumnya.
Labelisasi, atau pelabelan, adalah bentuk pertama dari stigma ini. Melalui label seperti “buta”, “tuli”, atau “cacat”, masyarakat mendefinisikan individu-individu tersebut bukan berdasarkan kemampuan mereka, tetapi dari hambatan yang terlihat. Label-label ini sering kali diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa, seperti peneliti, dokter, atau bahkan pejabat pemerintahan. Label ini kemudian disertai dengan stereotip yang menyertainya, misalnya orang buta yang hanya bisa menjadi tukang pijat, pengguna kursi roda yang hanya bisa menjadi penjahit, atau penderita kusta yang kebanyakan dianggap sebagai pengemis.
Stigma ini tidak hanya terbatas pada tataran individual, tetapi juga terlembaga dalam sistem sosial, terutama dalam pendidikan. Negara memisahkan anak-anak difabel dari anak-anak non-difabel melalui pendirian Sekolah Luar Biasa (SLB). Akibatnya, anak-anak difabel kehilangan kesempatan untuk belajar dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya di lingkungan yang inklusif. Pengalaman saya sendiri menunjukkan bahwa meskipun kebutaan tidak membatasi saya untuk bermain dengan teman-teman masa kecil, sistem pendidikan segregatif membuat kami terpisah ketika memasuki usia sekolah.
Perbedaan perlakuan ini turut membentuk karakter dan kepercayaan diri kedua kelompok tersebut. Pendidikan di SLB sering kali tertinggal dibandingkan dengan sekolah umum, baik dari segi kualitas guru, sistem pembelajaran, hingga fasilitas yang tersedia. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan yang diterima oleh anak didik di SLB, yang pada gilirannya membuat mereka kesulitan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja formal. Contoh nyata adalah pada ujian SBMPTN 2017, di mana dari 226 pendaftar difabel, hanya 38 yang lulus, dan tidak ada satupun lulusan SMA-LB yang berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri (https://www.antaranews.com/berita/634789/38-peserta-difabel-lolos-sbmptn).
Permasalahan ini tidak berhenti di pendidikan saja, tetapi juga berlanjut ke dunia kerja. Dengan standar profesional tertentu, difabel sering kali terlempar ke sektor informal, menempati posisi paling bawah sebagai angkatan kerja. Dengan kata lain, masa depan seorang anak buta menjadi tukang pijat bukanlah konsekuensi dari kebutaannya, tetapi dari kualitas pendidikan dan perlakuan yang diterima dalam sistem yang diskriminatif.
Desain sosial yang memisahkan dan mendiskriminasi difabel juga terlihat dalam ruang-ruang publik. Transportasi yang tidak aksesibel, infrastruktur yang tidak ramah difabel, dan ketidakadaan fasilitas seperti guiding block, rampa, dan toilet akses menjadi bukti bahwa difabel sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Ini menambah lapisan diskriminasi yang akhirnya menurunkan kualitas hidup mereka.
Stigma ini, menurut Goffman (1963), adalah sebuah atribut yang merusak pencitraan diri seseorang secara terus-menerus. Dalam konteks difabilitas, stigma terbentuk dari proses sosial yang melibatkan pelabelan, stereotip, pemisahan, dan diskriminasi. Jika saya terus tumbuh dalam lingkaran stigma ini, lambat laun saya, dan orang-orang di sekitar saya, akan menerima stigma tersebut sebagai kebenaran. Kami akan larut dalam pelanggengan stigma yang sudah terlembaga, dan akhirnya saya mungkin benar-benar akan menjadi tukang pijat, bukan karena saya menginginkannya, tetapi karena tidak ada peluang lain yang terbuka.
Untuk menghapus stigma ini, diperlukan usaha destigmatisasi yang melibatkan berbagai pihak. Kita harus mulai dengan menghentikan pelabelan yang bernuansa negatif, menghapus prasangka tentang ketidakmampuan difabel, dan melawan sistem segregatif yang memisahkan mereka dalam pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Perjuangan ini tidak bisa hanya menunggu inisiatif dari negara atau pihak-pihak berwenang, tetapi juga harus melibatkan kita semua sebagai masyarakat yang peduli dan sadar akan pentingnya inklusi.
Stigma adalah hasil dari proses sosial yang panjang, tetapi begitu pula dengan destigmatisasi. Hanya dengan kerja bersama, kita bisa menghancurkan benteng-benteng diskriminasi yang telah terbangun kokoh, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua.[*]
Gambar ilustrasi oleh Akas
Nur Syarif Ramadhan – Ketua Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan