Sewindu Memandu Rindu: Catatan Kecil dari Balik Pintu Rumah PerDIK

Sewindu Memandu Rindu: Catatan Kecil dari Balik Pintu Rumah PerDIK

Pintu, lebih dari sekadar kayu yang diukir atau besi yang dibentuk, adalah saksi bisu dari takdir yang terus berkelindan. Ia bukan hanya pemisah antara dua ruang, tetapi jembatan antara yang diketahui dan yang tak terduga. Pintu punya hati—ia berdenyut setiap kali disentuh oleh tangan yang ragu-ragu, gemetar, atau berani. Di balik setiap pintu, ada semesta kecil yang menunggu untuk ditemukan, atau mungkin, dilupakan. Sebuah pintu tidak pernah benar-benar tertutup, bahkan saat terkunci; ia tetap menyimpan celah-celah bagi angin mimpi untuk menyelinap masuk, menebarkan jejak takdir. Dalam filosofinya yang sunyi, pintu adalah metafora bagi keberanian dan keraguan, sebuah momen transisi di mana kita berdiri di ambang—di antara apa yang pernah ada dan apa yang bisa menjadi.

Dan di sanalah letak kekuatan sebuah pintu—ia tidak hanya memisahkan, tetapi juga menyatukan ruang yang berbeda. Setiap kali seseorang memutuskan untuk melangkah, pintu menguji kesiapannya. Apakah ia akan tetap berdiri di ambang, terjebak dalam bayang-bayang ketidakpastian, ataukah akan berani melangkah ke depan, menuju hal yang tak dikenal? Pintu tidak menilai, ia hanya membuka kemungkinan. Ia adalah penjaga waktu, yang menyimpan cerita-cerita tentang orang-orang yang pernah melewatinya; tentang jejak kaki yang ragu, berlari, atau bahkan terpaksa. Tapi pintu juga tahu, bahwa setiap keputusan untuk membukanya adalah janji pada diri sendiri untuk berani berubah. Maka, dalam setiap langkah yang melewatinya, ada transformasi yang halus namun dalam—pintu adalah cerminan dari keberanian manusia untuk menantang dirinya, untuk terus bergerak meskipun ia belum tahu apa yang menanti di sisi lain.

Setiap pintu yang terbuka adalah babak baru, tapi pintu juga tahu bahwa tidak semua langkah yang melintasinya akan menuju kebahagiaan. Ada yang membuka pintu dengan hati penuh harap, namun di sisi lain menemukan kekecewaan, ketakutan, atau jalan yang tak mereka harapkan. Namun, pintu tidak pernah berdusta—ia hanya menyajikan realitas dan pilihan. Bahkan ketika pintu ditutup dengan bunyi pelan, atau dibanting dengan amarah, ia tetap sabar menunggu momen berikutnya. Sebab, pintu paham bahwa kehidupan tidak berhenti di satu ruang atau satu waktu.

Pintu juga memiliki ingatan yang misterius. Ia menyimpan gema dari setiap langkah yang pernah melaluinya, menyerap energi dari harapan yang pernah digantungkan di ambangannya, dan membawa sisa-sisa keinginan yang belum terwujud. Saat kita kembali ke pintu yang sama, ia mengingat kita, meski mungkin kita sudah berubah. Pintu adalah saksi dari perjalanan yang berulang, ketika kita tersesat dan kembali, atau ketika kita mencari sesuatu yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan. Dalam diamnya, pintu memberi ruang bagi introspeksi—ia tak hanya membawa kita ke ruang fisik, tapi juga ke ruang batin, tempat kita menghadapi diri kita sendiri, di mana keberanian, ketakutan, dan keraguan saling berdialog.

Dan ketika suatu hari kita menutup pintu untuk terakhir kalinya, pintu itu tahu, bukan akhir yang menunggu di sana, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebab pintu, dalam segala kesederhanaannya, adalah penanda bahwa hidup selalu bergerak. Ia mengingatkan kita bahwa keberanian untuk melangkah—melalui pintu-pintu yang menantang, penuh misteri, atau bahkan menyakitkan—adalah satu-satunya cara untuk terus maju dalam perjalanan panjang bernama kehidupan.

Setelah sewindu, PerDIK telah melangkah melewati lima pintu, dan setiap pintu memiliki ceritanya sendiri. Dari pintu pertama yang menjadi awal mula, hingga pintu yang saat ini terbuka lebar, organisasi ini bukan hanya sekadar berpindah tempat, tetapi bertransformasi. Setiap perpindahan adalah jejak dari perjuangan, kehilangan, harapan, dan semangat yang terus menyala. Di balik setiap pintu, tersimpan tawa, air mata, dan tekad untuk terus maju, karena bagi PerDIK, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan ruang di mana mimpi tentang dunia inklusif terus berdenyut, menolak untuk padam.

Rumah pertama PerDIK adalah saksi dari mimpi-mimpi kecil yang mulai dirajut. Di sana, di sebuah garasi, diskusi panjang mengisi malam-malam yang dingin, menghangatkan tubuh dan hati mereka yang hadir. Di pojok ruangan, ada secangkir kopi yang tak habis-habis, menjadi teman setia obrolan tentang keadilan dan kesetaraan. Tapi, rumah ini harus dilepaskan. Pindah pertama bukan hanya tentang membawa barang-barang, tapi juga tentang membawa harapan yang lebih besar. Ada rasa kehilangan, tapi juga keyakinan bahwa di tempat baru, perjuangan akan lebih kuat.

Rumah kedua datang seperti sebuah pintu terbuka untuk lebih banyak peluang. Ruangannya lebih luas, dinding-dindingnya lebih kokoh, namun di dalamnya tetap ada kehangatan yang sama. Malam-malam dihabiskan dengan tawa, kadang tangis, ketika perjuangan tampak lebih berat dari yang dibayangkan. Di sini, hubungan semakin erat, bukan hanya sebagai rekan adu gagasan, tapi sebagai keluarga.

Namun, perpindahan ketiga datang lebih cepat dari yang diduga. Seperti cinta yang tiba-tiba harus diakhiri, rumah ketiga harus ditinggalkan sebelum sempat terlalu dalam dijelajahi. Tidak ada yang mudah dalam perpindahan ini. Tapi, seperti halnya setiap kisah perjuangan, ada titik balik.

Perpindahan dari rumah ketiga menuju rumah keempat adalah momen yang tak terlupakan bagi PerDIK. Rumah itu, meski tampak seperti tempat perhentian sejenak, menjadi ruang di mana banyak hal terjadi. Di rumah keempat ini, dinding-dindingnya menyimpan tawa, harapan, tapi juga kesedihan yang tak terelakkan.

Hari-hari pertama di sekretariat baru diisi dengan semangat yang menggebu. Ruangan terasa lebih lega, jendela-jendela terbuka lebar, seakan memberi ruang bagi angin segar dan ide-ide baru untuk mengalir. Di sudut ruang, ada tumpukan harapan, buku-buku tentang hak-hak disabilitas yang tertata rapi, dan secangkir kopi yang masih mengepulkan uap hangat. Namun, seiring berjalannya waktu, rumah keempat menjadi saksi atas dinamika yang tak bisa dihindari.

Beberapa kawan yang dulu hadir penuh semangat, perlahan menghilang. Mereka bukan sekadar pergi karena alasan yang sederhana—ada yang harus memilih jalur baru dalam hidup, ada yang merasa letih di tengah perjuangan, dan ada yang, sayangnya, terpaksa meninggalkan karena perbedaan pandangan. Setiap perpisahan meninggalkan jejak rasa kehilangan yang mendalam. Kawan-kawan yang pernah berbagi tawa, kini tak lagi ada di sudut ruangan, membuat suasana terasa sedikit lebih sunyi.

Di balik tawa dan cerita, tersembunyi juga sekelumit masalah yang kian hari kian membebani. Ada tantangan internal yang tak terduga, gesekan yang kadang muncul di antara mereka yang mungkin kelelahan atau frustasi. Di meja rapat, kadang ada diskusi yang memanas, membahas strategi yang berbelit, atau keputusan sulit yang harus diambil. Pada saat-saat seperti itu, rumah keempat menjadi ruang di mana kebersamaan diuji. Mampukah kita terus berdiri tegak di tengah badai ini?

Namun, di tengah keretakan kecil itu, muncul kilasan harapan. Beberapa tetap bertahan, meski terluka, meski letih. Di sini, mereka yang tersisa menguatkan satu sama lain. Ada yang mencoba memperbaiki, ada yang terus menyuarakan visi bersama, menyalakan api kecil yang tak boleh padam.

Sekretariat keempat menjadi saksi dari konflik, perpisahan, dan masalah yang datang, namun ia juga menjadi tempat bagi mereka yang percaya bahwa perjuangan ini terlalu penting untuk ditinggalkan. Rumah ini mengajarkan mereka tentang arti kebersamaan yang sesungguhnya—bahwa tak peduli berapa banyak badai yang datang, mereka tetap satu dalam semangat.

Gambar peserta yang sedang mengikuti pelatihan tata letak buku bersama pemateri, Daeng Malik, dan Syarif. Sekitar enam peserta duduk di depan laptop memperhatikan penjelasan pemateri

Kini, saat PerDIK membuka pintu kelima, ada perasaan baru yang hadir. Lebih dari sekadar dinding dan atap baru, perpindahan kali ini membawa semangat yang sama. Setiap kardus yang diangkat, setiap meja yang dipindahkan, seolah menyimpan cerita tentang bagaimana perjuangan menuju kesetaraan terus bergerak. Di sini, di rumah baru ini, mimpi-mimpi yang dulu digantung di langit-langit kini mulai diturunkan dan dihidupkan kembali.

Pintu, bagi PerDIK, bukan hanya tentang ruangan baru. Ia adalah metafora dari perjalanan panjang menuju inklusi. Setiap kali pintu terbuka, itu adalah undangan bagi siapa saja yang ingin ikut serta dalam perjuangan ini. Pintu tidak hanya menyambut, tetapi juga menantang kita untuk berani melangkah, menembus ketidakpastian, dan percaya bahwa dunia yang lebih inklusif bukan kerinduan semu, melainkan kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama.[]

Daeng Maliq – Kepala Suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *