Percakapan Kecil di antara Harapan Besar

Percakapan Kecil di antara Harapan Besar
Foto kegiatan seminar

Waktu mendekati pukul satu siang, namun ojek daring yang saya pesan belum juga datang. Padahal seminar akan segera dimulai sesuai jadwal yang tertulis pada undangan elektronik. Saya mondar-mandir di teras sambil sesekali memeriksa ponsel. Di layar tertera bahwa akan segera tiba dalam tiga menit. Waktu yang singkat, namun terasa lambat.

Saya memang agak telat bersiap lantaran mesti menenangkan si sulung. Ia masuk rumah sambil merintih, lalu menarik jariku dan meletakkan di atas tangannya. Saat bubar sekolah, ia membuka-buka buku cerita untuk mengisi waktu sebelum dijemput. Temannya juga menginginkan buku yang sama, lalu terjadilah adegan tarik menarik. Temannya yang merasa kesal kemudian dengan gerakan tak terduga menggigit tangannya. Kejadian itulah yang memaksa mengeluarkan jurus membujuk, agar tak lagi menangis. Saya menjanjikan untuk mengajaknya ke toko buku untuk memilih buku cerita sambil mengusap bekas gigitan di tangan kanannya yang terasa hangat.

Saat ojek tiba, saya segera mengenakan helm yang disodorkan si pengemudi. Di sisi bawah helm, kainnya sudah sobek. Gabusnya pun terasa tipis dan menunjukkan gejala koyak di beberapa titik. Bau apek menguar, melengkapi penderitaan sepanjang lebih dari tujuh kilometer. Apalagi si pengemudi yang saya duga berusia sekira setengah abad itu melaju dengan perlahan. Saya memperkirakan kecepatannya sekitar dua puluh kilometer per jam.

Saya berpikir kalau sudah telat dan melewatkan beberapa agenda acara. Tapi, saat memasuki ruangan dengan diantar oleh salah seorang panitia, lagu kebangsaan baru saja berkumandang. Saya duduk di kursi barisan depan, di sisi kiri forum. Acara dimulai dengan sambutan dari ketua panitia, lalu bergulir ke ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dilanjutkan hingga sambutan terakhir, sekitar empat atau lima orang bergantian. Saya memerhatikan sekeliling, menduga beberapa peserta mulai mengangguk kecil—bukan karena sepakat, tetapi karena kantuk yang tak bisa ditahan.

Saya pun menggerutu pelan. Tak sabar mendengarkan sambutan yang terasa monoton. Tiba-tiba sebuah suara menyapa dari arah kanan. Saya menjawab pelan dan singkat. Kami saling bertanya satu sama lain, mengimbangi suara dari speaker yang berada di sisi kiri. Suasana di antara kami mulai mencair dan mengalirkan kalimat-kalimat perkenalan. Sambutan baku nan beku itu tak lagi kami hiraukan.

Setelah parade sambutan yang panjang, seminar masuk ke acara inti. Empat panelis yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tampil ke depan. Saya duduk tegak, mencoba menyimak dengan sisa-sisa antusiasme yang masih ada. Panelis pertama bicara soal pendidikan, penuh dengan angka-angka dan jargon teknis. Panelis kedua menceritakan program-program yang telah diluncurkan pemerintah, sementara panelis ketiga berbagi kisah sukses yang telah dicapai lembaganya. Panelis terakhir, yang saya kira akan memberikan sentuhan personal dan perspektif baru, justru melanjutkan dengan presentasi serupa—berupa data dan statistik.

Sebenarnya, saya menaruh harapan besar atas kegiatan kali ini. Sudah lama tak mengikuti kegiatan yang diinisiasi oleh mahasiswa. Ekspektasi akan sebuah kemasan acara yang progresif dan mencerahkan terbayang dalam benak sebelum tiba. Sebab gagasan organik dan unik senantiasa melekat pada mahasiswa sebagai entitas yang tercerahkan. Tapi, nampaknya saya mesti menggeser harapan itu.

Ketika sesi para panelis selesai, saya berharap ada ruang untuk berdialog, untuk mengajukan pertanyaan, atau setidaknya mendengar pendapat dari peserta yang telah duduk diam sepanjang acara. Namun, alih-alih membuka sesi tanya jawab, moderator langsung menutup acara begitu saja dengan bait pantun yang nampaknya dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Saya menghela napas panjang. Selesai? Begitu saja?

Di sinilah letak ironi terbesar dari seminar ini. Kegiatan yang seharusnya menjadi ruang inklusif bagi para peserta disabilitas, nyatanya tidak benar-benar memberi ruang bagi suara mereka. Tidak ada dialog, tidak ada diskusi. Hanya ada serangkaian presentasi satu arah yang berakhir tanpa kesempatan bagi kami untuk berbicara. Seminar ini seperti sebuah panggung teater di mana hanya para aktor yang beraksi, sementara penonton hanya boleh duduk diam, bertepuk tangan di akhir, dan pulang tanpa membawa apa-apa selain rasa frustrasi yang mengendap.

Untung saja saya mendapat kenalan baru. Seorang Ibu dua anak yang kini mendedikasikan waktu dan perhatiannya untuk mengasuh anaknya yang mengalami ADHD. Sampai-sampai resep diet untuk anaknya disulap menjadi usaha yang menghasilkan. Menu-menu makanan dan minuman sehat, tanpa pengawet, tanpa micin, tanpa pemanis buatan, serta diolah dari bahan bernutrisi tinggi. Kuliner Elok Gallery, begitu ia mengeja pelan dan saya menyimpannya di ingatan. Saya berjanji untuk membuka di Instagram saat pulang ke rumah.

Seminar tanpa dialog adalah seperti jembatan tanpa ujung—indah dipandang, tapi tidak bisa dilewati. Sebuah forum yang membahas inklusi, seharusnya dimulai dari inklusivitas itu sendiri, memberi ruang bagi semua orang untuk berbicara, mendengar, dan didengar. Apa gunanya angka-angka statistik dan kisah sukses jika yang hadir di ruangan itu tidak punya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang realitas yang mereka alami setiap hari? Bukankah semangat inklusi itu berarti membuka ruang bagi semua, bukan hanya untuk mendengarkan tetapi juga untuk berbicara?

Saya pulang dengan perasaan campur aduk, seperti makan hidangan yang terlihat lezat tapi ternyata hambar saat dicicipi. Seminar ini, meskipun diadakan untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional, justru melewatkan satu hal mendasar yang seharusnya ada, mendengarkan. Bukan sekadar memberikan sambutan atau paparan data, tetapi benar-benar mendengarkan suara dari mereka yang selama ini sering diabaikan dalam percakapan publik.

Untuk acara-acara selanjutnya, saya hanya punya satu harapan sederhana, yaitu beri ruang bagi suara-suara yang jarang didengar. Biarkan para peserta mengajukan pertanyaan, memberikan masukan, dan berbagi cerita. Jangan biarkan acara seperti ini hanya menjadi panggung bagi mereka yang sudah terbiasa berbicara, sementara yang lain hanya menjadi penonton yang terbungkam. Karena pada akhirnya, perubahan besar tidak datang dari presentasi yang sempurna, melainkan dari dialog yang terbuka dan tulus.

Seminar ini bisa menjadi lebih bermakna jika kita semua belajar mendengarkan lebih baik. Bukan hanya mendengarkan sambutan-sambutan yang sudah dipoles dan disiapkan dengan baik, tetapi mendengarkan suara yang datang dari hati—suara para peserta yang duduk di kursi-kursi belakang, yang mungkin sudah lama menanti untuk berbicara, namun kembali pulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan di dada.

Hari Disabilitas Internasional seharusnya menjadi momen untuk melibatkan semua orang dalam percakapan besar tentang inklusi. Namun, hari ini, seminar itu hanya menjadi monolog yang dingin dan kering, terjebak dalam formalitas yang kosong. Dan saya, sebagai salah satu peserta, hanya bisa mencatatnya sebagai kesempatan yang terlewatkan—sebuah seminar tanpa suara.[]

Poster kegiatan

Daeng Maliq

Kepala Suku Pustakabilitas dan Penerbit PerDIK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *